Tulungagung- Kerajinan ukiran alat-alat kelangkapan rumah tangga yang terbuat dari akar pohon jati warga Tulungagung, kini mampu menembus pasar Eropa. Salah seorang perajin seni ukir akar pohon jati di Desa Buntaran, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung, Fajar, Rabu menjelaskan, pesanan dari luar negeri akan kerajinan alat-alat kelangkapan rumah tangga dari akar pohon jati tersebut, kini meningkat. "Saat ini ada sekitar 500 unit pesanan dari sejumlah negara di Eropa," katanya menjelaskan. Fajar bersama temannya Khairul menekuni kerajian seni ukir akar kayu jati ini sejak 15 tahun lalu. Awalnya ia bergerak di bidang kerajinan ukir biasa. Namun karena pangsa pasarnya menurun ia kemudian beralih pada jenis kerajinan akar kayu jadi. Semua alat kelengkapan rumah tangga, seperti kursi, meja, dan wastafel, semuanya terbuat dari kayu akar jati. "Yang banyak pesanan kalau dari luar negeri itu jenis wastafel, selain kursi dengan negara tujuan Belanda dan Inggris," terang Fajar. Rata-rata pesangan kerajinan akar pohon jati ini antara 40 hingga 50 unit per bulan dengan harga bervariatif mulai dari Rp100 ribu hingga Rp5 juta. "Kalau yang Rp100 ribu seperti tempat sisir ini. Kalau yang mencapai Rp5 juta seperti kursi itu," ucap Fajar sembari menunjuk pada kursi besar yang terbuat dari akar kayu jati utuh atau yang disebut "agar gembol" oleh warga di kota seribu arca ini. Selain karena ukurannya besar, yang juga membuat harga kerajinan dari "akar gembol" ini mahal, juga karena bahannya juga sulit. Proses pembuatan juga relatif lebih lama dibanding dengan kerajina jenis lain. "Kalau akar gembol itu kan tidak ada sambungannya, jadi akar kayu jatinya itu utuh sama sekali," katanya menambahkan. Diakui Fajar, minat pasar atas kerajinan perlengkapan rumah tangga dari akar kayu jati akhir-akhir ini kian meningkat. Terutama ekspor ke luar negeri. "Kalau di dalam negeri yang banyak permintaan itu dari Bali, selain kota-kota besar di Indonesia ini," katanya menuturkan. Di tempat kerjanya di Desa Bantaran ini, Fajar sebenarnya hanya salah satu dari dari dua pekerja tetap di sebuah usaha dagang milik kerajinan akar kayu milik Muhammad Ali, warga setempat. Sementara, Muhammad Ali sendiri sebenarnya penerus usaha akar jati yang dirintis ayahnya, Purnomo. Awalnya, pada 1992, usaha mebel yang digeluti Purnomo yang telah berjalan bertahun-tahun itu terhenti karena bahan baku dengan harga jual mebel tak lagi sebanding, lalu muncullah ide menggunakan akar pohon jati sebagai bahan baku. Ternyata, usaha yang digeluti dengan memanfaatkan limbar akar jati ini mendapat respon pasar yang positif dan tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga hingga ke luar negeri. Setiap dua bulan sekali, pedagang dari Inggris dan Belanda selalu mendatangi bengkel kerja Muhammad Ali untuk berbelanja alat-alat rumah tangga ini. "Hemat kami, peminat kayu limbah ini cukup banyak karena kualitas kayunya bagus, tetapi harganya relatif murah," katanya menjelaskan. (*)