Kohati Malang: Pluralisme Bagai Pedang Bermata Dua
Kamis, 26 April 2012 18:44 WIB
Malang - Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wati (Kohati) Malang menyatakan pluralisme yang memiliki beragam corak budaya dan beragam perbedaan di Indonesia bagai pedang bermata dua yang memiliki kelemahan dan kelebihan.
Ketua Kohati Malang Raya Sri Happy Nisaur di Malang, Kamis, mengatakan kelemahan pluralisme ini karena ragam identitas tersebut dapat memicu konflik dengan mudah diantara masyarakatnya. Konflik antar dan intra-agama sering tidak terelakkan dan berulang-ulang terjadi.
"Bahkan banyak korban ada di hadapan kita, nyawa maupun harta. Kasus penyerangan terhadap salah satu agama oleh agama atau paham lain lalu menjadi tanda besar bahwa kebebasan dalam beragama di negeri ini masih sebatas wacana," katanya.
Menurut dia kebebasan beragama belum menjadi bagian dari amalan sehari-hari, sehingga penganut agama atau keyakinan yang berbeda-beda pandangan dan mazhab dapat saling hidup tentram, menghormati dan mengasihi.
Kohati-HMI Cabang Malang, katanya memandang ada pemaknaan agama yang salah dari masyarakat mengenai hidup bermasyarakat yang tidak beragama Islam.
Karena agama layaknya semua keyakinan teguh adalah kekuatan luar biasa yang memiliki kemampuan untuk mendorong orang ke jurang kebencian atau mengantar mereka ke ketinggian cinta dan pencerahan yang tiada terkira.
Mengutip dari Khaled Abou El Fadl :2006, lanjutnya, kekuatan ini adalah potensi yang ada pada semua yang merepresentasikan agama, teks-teks dan sejarahnya, keyakinan dan mitologinya, ritual dan simbolnya.
"Apa yang teraktualisasikan dari potensi ini bergantung pada mereka yang sanggup memberikan potensi pada kekuatan agama ini di muka bumi," tandasnya.
Menyinggung aksi anarkis yang kian marak, Sri Happy mengatakan berawal dari peristiwa meledaknya Bom Bali 2002 hingga hingga perusakan Masjid Ahmadiyah pekan lalu, kasus penyerangan, perusakan, dan berbagai tindakan anarkis lainnya dilakukan oleh sekelompok ormas dengan alasan menentang syariat Islam, berseberangan dengan ajaran Islam sesungguhnya.
Namun, selama satu dekade terakhir ini pula kasus yang kian marak dan dilakukan oleh sekelompok masyarakat di berbagai daerah, juga tanpa ada penyelesaian yang jelas dari kepolisian.
"Pelaku pengeboman masih bebas berkeliaran menentukan target pengeboman selajutnya, sejumlah kelompok massa masih berkeliaran melakukan perusakan tempat ibadah dan rumah penduduk. Kondisi ini cukup memprihatinkan," tegasnya. (*)