Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar Teknik Sumber Daya Air Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember Prof Nanang Saiful Rizal mengungkapkan penyebab banjir yang mengepung kawasan kota di wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur.
"Salah satu penyebab utama banjir adalah sistem drainase kawasan permukiman yang kurang memadai," katanya di Jember, Jumat.
Hujan deras yang mengguyur Jember menyebabkan banjir dengan ketinggian 80 cm hingga 1 meter, sehingga ratusan rumah di kawasan kota tergenang pada Kamis (12/12).
Ia mengungkapkan sejumlah penyebab banjir tersebut sekaligus memberikan saran mitigasi agar bencana banjir yang menerjang kawasan kota tidak terulang kembali.
"Sistem drainase yang ada saat ini tidak mampu mengalirkan air hujan dengan intensitas tinggi," tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, beberapa outlet tidak langsung menuju anak Sungai Bedadung, aliran air terhambat oleh bangunan, dan banyak yang tertutup sampah.
Hal serupa juga terjadi pada anak Sungai Bedadung yang melintasi Kota Jember dan kapasitas anak sungai tersebut tidak lagi mampu menampung debit air akibat banjir.
Ia juga menyoroti dampak perubahan fungsi lahan, terutama di dataran tinggi Kabupaten Jember dan banyak lahan pertanian dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan tanpa mempertimbangkan konservasi air.
“Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan telah meningkatkan koefisien limpasan air, sehingga debit banjir saat hujan meningkat lebih dari dua kali lipat," katanya.
Ia mengatakan idealnya alih fungsi tersebut diimbangi dengan peningkatan resapan air di hulu, misalnya melalui pembangunan bendungan, embung, long storage, atau infrastruktur sejenis untuk menampung, menyimpan, dan meresapkan air permukaan.
Ia juga menekankan pentingnya peran pengembang properti dalam mengatasi masalah banjir, khususnya dengan menerapkan sistem zero run-off.
“Air hujan yang turun seharusnya diresapkan oleh sumur resapan di setiap rumah. Kelebihannya ditampung di kolam pada setiap blok perumahan, dan jika masih ada sisa, dialirkan ke danau perumahan. Dengan cara itu, air yang turun menjadi tanggung jawab perumahan itu sendiri,” ujarnya.
Nanang juga menjelaskan keuntungan sistem zero run-off. Selain mampu mereduksi banjir, sistem itu juga meningkatkan ketersediaan air tanah, sehingga dapat mengurangi risiko kekeringan saat musim kemarau.
Ia juga membedakan antara dua jenis banjir yakni banjir kiriman dan banjir lokal. Banjir kiriman berasal dari dataran tinggi, sedangkan banjir lokal terjadi akibat ketidakmampuan sistem drainase kawasan dalam mengalirkan air hujan.
"Untuk menangani banjir kiriman, kami menyarankan konservasi air di daerah hulu dan penggunaan teknologi Early Warning System (EWS) berbasis Internet of Things (IoT)," katanya.
Sementara itu, untuk banjir lokal, pihaknya merekomendasikan sistem zero run-off dan teknologi MagnaTank, yaitu sistem penyimpanan air bawah tanah berbentuk kotak yang dapat ditempatkan di bawah jalan, rumah, atau garasi.
Ia berharap adanya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pengembang properti dalam menerapkan langkah-langkah preventif.
“Pemerintah harus tegas mengatur izin pembangunan perumahan, masyarakat perlu sadar untuk tidak melanggar aturan seperti membangun di sempadan sungai atau membuang sampah sembarangan," katanya.
Ia mengatakan pengembang harus konsisten menerapkan sistem zero run-off. Kolaborasi ini sangat penting untuk memastikan Jember bebas dari banjir di masa depan.