Bondowoso (ANTARA) - Seorang kiai yang juga pengajar di sebuah sekolah di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, begitu hati-hati menerima uang gaji sebagai pegawai negeri sipil (PNS) agar terhindar dari laku korupsi.
Sang ulama yang kemudian menjadi kepala sekolah di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) memiliki cara unik agar nafkah yang digunakan untuk diri dan keluarganya betul-betul bersih dari unsur haram dan korupsi.
Agar terhindari dari korupsi, ia menghitung total gaji yang diterima setiap bulan, kemudian dibagi setiap hari. Misalnya, gaji si kiai yang guru PNS itu Rp3 juta setiap bulan, dengan hari efektif setiap pekan 6 hari kerja, maka dalam sebulan ada 24 hari kerja. Dengan gaji Rp3 juta setiap bulan, maka setiap hari ia menerima bayaran Rp125 ribu.
Baca juga: Memandang kehidupan terlalu serius dan jerat korupsi
Dari hitungan itu, kalau si kiai itu 1 hari tidak masuk ke sekolah karena ada keperluan, maka ketika menerima gaji, ia memotong gajinya Rp125 ribu untuk dimasukkan ke kas sekolah. Potongan itu diberlakukan sendiri, meskipun alasan tidak masuknya karena sakit atau ada tugas dinas ke luar kota.
Kalau dalam satu bulan ada 2 hari tidak masuk, maka dipotong Rp250 ribu. Meskipun demikian, sang kiai itu tidak pernah memberlakukan ketentuan disiplin personal tersebut ke anak buahnya atau guru-guru yang lain.
Ah, berlebihan. Mungkin saja orang lain menilai perilaku kiai yang hidupnya sederhana itu sebagai tindakan yang tidak masuk akal atau berlebihan. Gaji PNS setiap bulan itu kan tidak dihitung harian.
Biarlah, jika ada penilaian hal itu sebagai tindakan yang berlebihan. Kita ikut kelompok yang takjub dan salut atas prinsip yang dijalankan sang kiai. Di tengah godaan glamor yang menggedor-gedor jiwa masyarakat masa kini, masih ada orang yang teguh berpedoman pada prinsip berhati-hati dan memilih hidup apa adanya.
Cerita tentang sang kiai ini mengingatkan kita pada kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Mekkah yang menggunakan fasilitas negara juga dengan penuh kehati-hatian.
Suatu malam, Khalifah Umar didatangi puteranya, ada yang menyebut didatangi tamu. Khalifah Umar bertanya kepada yang datang, apakah keperluannya terkait urusan negara atau keperluan pribadi.
Begitu yang datang itu menyatakan untuk urusan pribadi, sang Khalifah langsung mematikan lampunya. Tentu saja orang yang datang kepadanya kaget dan bertanya mengapa tindakan itu dilakukan sang Khalifah.
Khalifah Umar mengatakan bahwa semua fasilitas yang diberikan oleh negara untuk sang Khalifah harus betul-betul digunakan untuk kepentingan negara. Untuk kepentingan pribadi dan lainnya, maka fasilitas negara, termasuk lampu, tidak boleh digunakan. Khalifah Umar mengganti lampu milik negara itu dengan lampu pribadi milik keluarga.
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar dan sang kiai di Kota Tapay dan Republik Kopi, sebutan untuk Kabupaten Bondowoso, ini sesungguhnya mengandung pelajaran besar dan penuh makna.
Di luar praktik korupsi yang sangat jelas mengambil uang negara dan pelakunya kini banyak diringkus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada banyak potensi korupsi samar yang diam-diam mungkin kita lakukan dan kita tidak menyadarinya.
Kita lihat contoh, seorang pekerja kantoran, baik milik pemerintah maupun swasta, datang terlambat ke kantor, maka sesungguhnya ia telah melakukan korupsi tersamar.
Bisa juga kita datang tepat waktu ke kantor, namun kita "mencuri" banyak waktu di kantor tersebut, dengan mengerjakan hal-hal lain yang bukan berurusan dengan kantor.
Atau kita diberi fasilitas kendaraan, termasuk telepon seluler (ponsel) oleh kantor tempat bekerja, namun fasilitas itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi.
Bagi anak-anak muda, siswa, atau mahasiswa, bisa juga menelisik apa yang mereka jalani, apakah masuk korupsi samar atau tidak. Korupsi samar itu, antara lain, tidak memanfaatkan amanah dari orang tua untuk keperluan semestinya, seperti uang pendidikan atau fasilitas ponsel. Anak-anak muda yang di pundaknya ada potensi tanggung jawab kepemimpinan di masa depan, sangat penting untuk melatih diri terhindar dari perilaku korupsi.
Menyimak kisah dua tokoh pada awal tulisan ini, sepintas terasa bahwa hidup begitu ribet. Menyiksa diri, mungkin seperti itu kita menyikapi.
Tetap di posisi jiwa yang santai saja. Mungkin kita akan ribet untuk meniru total gaya hidup Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan seorang kiai yang juga guru itu.
Meskipun demikian, bukan berarti telah tertutup pintu kemuliaan dari kita dengan berhati-hati agar terhindar dari laku korupsi samar.
Kita memang bukan manusia sempurna. Oleh karena itu, mari kita simak cerita guru lain, juga masih di Kabupaten Bondowoso, yang letaknya berada di tengah-tengah Kabupaten Jember, Situbondo, Probolinggo, dan Kabupaten Banyuwangi itu.
Seorang guru di sekolah menengah kejuruan (SMK) itu menyadari betul bahwa ia tidak sempurna melaksanakan tugasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN). Oleh karena itu, ia harus melakukan kompensasi positif sehingga bisa menutupi kekurangannya dalam melaksanakan tugas.
Si guru itu biasa mengunjungi rumah siswanya yang bermasalah di luar jam kantor. Tidak jarang si guru itu memberikan sesuatu kepada muridnya untuk memancing aktif kembali ke sekolah. Si guru berkomunikasi dengan siswa dan orang tua siswa mengenai apa yang dialami. Si guru datang membawa aura empati untuk menyemangati siswa untuk kembali semangat belajar, dan orang tuanya juga tetap bersemangat mendorong anaknya sekolah.
Si guru, hampir setiap tahun, juga mengajak siswa yang memiliki semangat untuk kuliah, namun terhalang oleh ketidakmampuan orang tua untuk membiayai.
Si guru yang juga memiliki tanggungan menyekolahkan anak kandungnya, berupaya mencarikan jalan kepada siswa yang kurang mampu, namun memiliki semangat tinggi untuk bisa melanjutkan kuliah.
Bukan hanya mencarikan jalan keluar terkait biaya melanjutkan kuliah, si guru juga membimbing anak-anak asuhnya itu agar memiliki mental positif yang tidak mudah menyerah menghadapi tantangan hidup, termasuk menyikapi liku-liku rintangan di dunia pendidikan tinggi.
Kisah guru yang ketiga ini bisa saja dimaknai dengan pikiran koruptif, misalnya, tidak apa-apa korupsi, tapi sebagian hasilnya dimanfaatkan untuk orang lain. Ini tentu pola berpikir yang jauh dari upaya membersihkan diri dan sistem bernegara dari perilaku korupsi. Tindakan korupsi tidak bisa ditebus dengan kompensasi dalam bentuk apa pun.
Kisah-kisah di atas masih relevan untuk menjadi pengingat semua pihak, khususnya penyelenggara negara, untuk berhati-hati betul memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh negara dalam menjalankan tugas terbaik demi kemakmuran rakyat yang dipimpinnya.
Kisah pengingat ini masih relevan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember. Korupsi, bisa kita hindari sejak dini dengan mulai hal-hal kecil yang berdampak besar di kemudian hari, termasuk penanaman nilai moral sejak masih anak-anak.
Editor: Achmad Zaenal M