Bondowoso (ANTARA) - Membahas tentang korupsi dan kehidupan mengingatkan kita pada ungkapan bijak dan menyentuh dari seniman dalang Sujiwo Tejo yang berbicara tentang ucapan duka cita pada momen kematian seseorang.
Mengawali kaitan korupsi dengan kematian, Mbah Tejo, panggilan akrab Sujiwo Tejo, mengemukakan bahwa dirinya tidak suka mengucapkan belasungkawa atau duka cita ketika mendengar kabar ada seorang meninggal dunia.
Lalu apa hubungan kematian dengan korupsi yang menjadi perhatian dunia dengan menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia?
Baca juga: Dispendikbud Pasuruan tanamkan sikap antikorupsi dan antikekerasan di sekolah
Perilaku korupsi terjadi karena manusia lupa bahwa kematian adalah momen terindah manusia bersua dengan Tuhan. Innaalilaahi wainnailaihi rooji'uun (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah) merupakan nilai untuk mengingatkan manusia bahwa kematian bukanlah malapetaka yang harus disikapi dengan duka cita.
Ungkapan duka cita atas kematian adalah pikiran yang menempatkan hidup di dunia adalah segala-galanya, padahal dunia hanya persinggahan sementara. Leluhur Jawa mengungkapkan kenyataan hidup ini dengan ungkapan Urip mung mampir ngombe. Hidup hanya untuk mampir minum. Dalam bahasa anak muda, hidup hanya untuk sekadar mampir ngopi.
Quran Surat Al An'am Ayat 32 mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sementara negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Allah mengakhiri ayat ini dengan pertanyaan menghentak, "Tidakkah kamu mengerti?"
Sementara itu, perilaku korupsi merupakan gejala dari pelakunya yang menganggap bahwa dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya, sehingga dimanfaatkan untuk menumpuk kekayaan dengan mengambil harta yang bukan haknya atau menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Memanfaatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaan lewat jalan korupsi itu terjadi karena seseorang memandang hidup ini adalah segala-galanya. Kesempatan untuk meraup kekayaan di alam dunia ini dimanfaatkan betul oleh pelaku. Mereka lupa bahwa hidup di dunia hanyalah semacam tempat persinggahan.
Pelaku korupsi terlalu serius mengambil perolehan dari kehidupan, yang sejatinya hanya sementara dan tempat senda gurau atau untuk mampir ngombe.
Semestinya, keseriusan dalam menjalani hidup ini diletakkan pada perbuatan baik, sebagai tanggung jawab dari status manusia yang kholifah fil ard, wakil Allah di Bumi.
Manusia harus serius menjalani hidup dalam konteks kebermaknaannya bagi yang lain, bukan hanya kepada manusia, tapi bagi seluruh alam.
Seseorang, tentu dengan peran berbeda-beda, harus serius, bahkan boleh ambisius untuk memperluas dan memperdalam kebermaknaan diri di Bumi. Allah memiliki sifat yang maha lengkap, namun yang paling dikedepankan dan selalu diwujudkan bagi keberlangsungan hidup semesta adalah "rahman dan rahim-nya atau kasih sayangnya.
Jika dalam konteks kebermaknaan kita harus serius menjalankannya, sebaliknya, dalam konteks perolehan, kita harus memandang hidup bukan sesuatu yang perlu terlalu diseriusi. Sikapi semuanya hanya sebagai permainan.
Karena memandang apa yang kita dapat dari kehidupan hanyalah permainan, maka kita tidak akan terjerumus pada perilaku yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan. Sejatinya, terlalu serius menyikapi dunia dari asas perolehan adalah sumber malapetaka.
Jika kita menjalankan (menjalani) kehidupan tidak bertumpu pada asas perolehan, maka kita menjadi santai untuk mendapatkan sesuatu atau tidak mendapatkan sesuatu dari perbuatan baik yang kita lakukan. Perolehan hanya sebagai hadiah dari Allah, bukan tujuan.
Memaknai hidup dengan pijakan pada kebermaknaan, maka kita tidak akan serakah untuk memperoleh sesuatu. Manusia terbaik di sisi Allah adalah yang paling banyak berbuat kebaikan kepada yang lainnya. Karena itu, perolehan terbesar seorang manusia bukan seberapa banyak mendapatkan sesuatu, terutama harta benda, melainkan seberapa banyak berbuat hal bermakna untuk orang lain dan alam.
Sebagai wakil Allah di Bumi, kita juga bisa mengambil pelajaran besar dari apa yang diperagakan oleh Allah bagi kehidupan.
Allah telah menunjukkan Diri-Nya hanya selalu memberi dan tidak pernah menerima. Allah selalu menumbuhkan pohon atau hewan, tanpa pernah memiliki kebutuhan untuk memanen. Allah, dengan sifat As Somad-Nya sudah serba berkecukupan dan tidak membutuhkan sesuatu, bahkan ibadah seseorang, sekalipun. Ibadah kepada Allah itu semata-mata untuk diri si pelakunya.
Sifat kasih dan sayang Allah seharusnya menjadi pegangan manusia untuk menjalani setiap momen dan episode kehidupan.
Manusia yang mengedepankan perolehan dalam hidup ini adalah manusia yang "linglung" atau lupa akan siapa sejatinya dirinya dan apa statusnya di Bumi.
Kita selama ini terlena dalam kelupaan akut mengenai siapa diri kita sesungguhnya. Kita terlalu lama dan terbuai dalam memahami diri sebagai yang tubuh, dengan segala perangkat penggeraknya, yakni pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan ini yang kemudian kita kenal ego.
Padahal di balik semua yang tubuh dan segala perantinya itu, ada roh yang sesungguhnya merupakan sejatinya kita. Roh adalah bagian dari Allah yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Dengan demikian, maka sesungguhnya tubuh ini hanyalah "kendaraan" bagi roh untuk muwujud di alam semesta.
Sebagai percikan dari rohnya Allah, maka sejatinya kita juga memiliki sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya menjadi sandaran diri untuk menjalani hidup.
Karena jiwa kita bersandar pada yang ego, maka kita lupa pada tugasnya hadir ke Bumi untuk memeragakan sifat-sifat Allah. Kita justru terlena dengan memeragakan sifat-sifat ego.
Dalam konteks korupsi, ego selalu mengajak diri ini untuk memeroleh sesuatu, bahkan sebanyak-banyaknya. Pikiran dihantui oleh kekhawatiran akan kekurangan, sehingga tamak dengan menumpuk harta. Menumpuk harta adalah kemelekatan jiwa kepada selain Allah. Padahal dalam kalimatul haq (kebenaran mutlak), yakni Laailaaha illallah, kemelekatan jiwa itu hanya kepada Allah.
Kembali ke diri yang roh, maka manusia hadir ke Bumi ini sebetulnya "hanya jalan-jalan" alias merantau, karena rumah kita yang sesungguhnya adalah akhirat.
Ibarat kita punya rumah dan alamat tinggal di suatu daerah, kemudian kita rekreasi ke pantai atau ke kolam renang. Karena terlalu asyik dengan suasana di pantai dan kolam renang, saat hendak pulang, kita membawa semua fasilitas, seperti ban pelampung di pantai yang statusnya hanya pinjaman. Maka penjaga pantai mempersoalkannya, bahkan menghukumnya.
Begitu juga dengan kehidupan di dunia, kita lupa bahwa harta, jabatan, dan lainnya hanyalah pinjaman sementara dari Allah. Kita terlalu melekat pada kenikmatan harta, sehingga berupaya mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan secara jiwa kita bawa kemelekatan pada harta itu saat diri kita pulang kembali kepada Allah.
Ketika Allah mengakhiri batas hidup kita berekreasi di alam dunia, kita hendak pulang ke alam akhirat dengan membawa "ban-ban pelampung" yang hanya pinjaman itu. Karena batas taubat hanya berlaku ketika roh (ditandai dengan napas terakhir) belum sampai di kerongkongan. Pada saat roh berpisah dengan tubuh, maka penyesalan jiwa yang dibersamai roh untuk kembali ke haribaan Allah justru tersesat ke alam kesengsaraan. Pintu taubat sudah ditutup. Penderitaan atau neraka adalah tempat para diri yang hingga akhir hidupnya melekat pada kemewahan dunia. Mungkin di dalamnya termasuk para koruptor.
Penderitaan mendiami penjara akhirat pasti lebih pedih dari pada penjara milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian atau kejaksaan. Saling mengingatkan dalam keluarga menjadi sangat berharga untuk terhindar dari korupsi.
Kembali ke pesan bijak Mbah Tejo, hidup di dunia ini bukan segala-galanya. Perilaku korupsi akan berhadapan dengan dua pengadilan dan penjara, di dunia dan akhirat.
Lalu, untuk apa menumpuk sesuatu, apalagi dengan korupsi? Pada ujung kehidupan, harta yang sesungguhnya adalah sesuatu (harta atau perbuatan) yang kita dedikasikan untuk kebaikan orang lain, bukan yang kita tumpuk di dalam brangkas, di rekening-rekening bank, atau yang kita titipkan kepada pihak lain agar terhindar dari jerat hukum dunia.