Jakarta (ANTARA) - Menghadapi liburan akhir tahun, masyarakat yang tengah merancang rencana melancong ke satu tujuan wisata, mendapat angin segar dengan keputusan pemerintah menurunkan harga tiket pesawat.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono mengumumkan keputusan penting dari rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri terkait tentang harga tiket pesawat domestik untuk periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 yang diturunkan 10 persen.
Kebijakan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meringankan beban masyarakat, sekaligus mendorong sektor pariwisata yang terus berupaya bangkit.
Langkah ini bukan keputusan spontan. Pemerintah telah lama mendengar keluhan masyarakat mengenai tingginya harga tiket pesawat selama musim liburan.
Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, pasca-pandemi, mendorong mobilitas masyarakat melalui penurunan tarif penerbangan menjadi strategi yang jitu.
Dengan sinergi bersama PT Angkasa Pura, PT Pertamina, dan AirNav Indonesia, pemerintah mendorong turunnya biaya bahan bakar, tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U), serta harga avtur di beberapa bandara utama. Semua ini demi mencapai target penurunan harga tiket minimal 10 persen.
Pengumuman itu hampir pasti akan disambut antusias oleh masyarakat. Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana jelas sangat bergembira dengan keputusan tersebut, mengingat sektor pariwisata pasti akan terdampak positif.
Widiyanti juga menginginkan kebijakan penyesuaian harga tiket pesawat dapat diberlakukan ke seluruh tujuan di Indonesia, termasuk ke objek wisata.
Relaksasi kebijakan ini diperlukan untuk mendukung para pelaku industri pariwisata di Indonesia agar dapat menawarkan paket perjalanan wisata yang menarik, dengan harga yang lebih terjangkau.
Harus diakui bahwa sejauh ini, masa liburan akhir tahun selalu menjadi puncak kunjungan, tetapi sering kali masyarakat menghadapi kendala mahalnya harga tiket pesawat.
Dengan harga yang lebih terjangkau, kini semakin banyak keluarga yang bisa dengan segera merencanakan liburan ke berbagai tujuan wisata di Tanah Air.
Sementara itu, maskapai penerbangan nasional juga diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki kinerja dan menjangkau pasar yang semakin terbuka.
Banyak maskapai yang sebelumnya mengalami kesulitan memenuhi target keterisian kursi (load factor), kini bisa melihat peluang yang lebih besar.
Mereka juga berpotensi menambah jadwal penerbangan ke rute tujuan wisata favorit, seperti Bali, Yogyakarta, dan Lombok, untuk mengakomodasi lonjakan permintaan.
Insentif terkait tiket seperti ini sejatinya telah banyak dilakukan di negara lain untuk mendorong pergerakan masyarakat di jalur udara.
Seperti Malaysia, misalnya, di bawah Malaysia Aviation Group (MAG), yang menaungi Malaysia Airlines, Firefly, dan MASwings, pernah meluncurkan kampanye "Jom Cuti-Cuti Malaysia" pada Juli 2022.
Kampanye ini menawarkan voucher perjalanan khusus untuk mendukung Rencana Pemulihan Pariwisata 2.0 pemerintah, yang bertujuan meningkatkan pariwisata domestik, seiring transisi negara ke fase endemik.
Inisiatif tersebut, yang juga didukung dengan kampanye lain, rupanya telah terbukti berkontribusi pada peningkatan signifikan jumlah wisatawan domestik dan internasional yang berkunjung ke Malaysia selama periode liburan.
Insentif pada harga tiket di negara itu juga berdampak, hingga, misalnya, pada April 2024, Komisi Penerbangan Malaysia (MAVCOM) melaporkan pertumbuhan kuat dalam perjalanan udara, dengan total 7,9 juta penumpang, meningkat 19,5 persen dibandingkan April 2023.
Pertumbuhan ini, terutama didorong oleh perjalanan udara domestik selama periode liburan Hari Raya Idul Fitri, dengan 3,9 juta penumpang, meningkat 14,9 persen dari Maret 2024.
Di Amerika Serikat, bahkan isu mengenai penerbangan telah lama menjadi perbincangan.
Pada 1978, Amerika Serikat memberlakukan Airline Deregulation Act, yang menghapus kontrol federal atas tarif, rute, dan akses pasar bagi maskapai baru.
Langkah ini mendorong persaingan yang lebih sehat antarmaskapai, yang pada gilirannya menurunkan harga tiket pesawat, meningkatkan aksesibilitas, dan secara signifikan meningkatkan jumlah penumpang domestik.
Deregulasi ini juga mendorong inovasi layanan dan efisiensi operasional dalam industri penerbangan.
Hanya saja, relevansinya jelas akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia.
Lonjakan penumpang
Kebijakan terkait harga tiket di Indonesia memang merupakan angin segar, tetapi dinamika ini tidak sepenuhnya mulus. Dalam masa liburan, lonjakan penumpang bisa menjadi pedang bermata dua.
Risiko keterlambatan, pembatalan, hingga layanan yang tidak memadai sering kali muncul. Oleh karena itu, pemerintah dan maskapai harus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas operasional.
Selain objek wisata domestik, rute internasional juga diperkirakan akan semakin dilirik. Maskapai berbiaya rendah sudah hampir pasti akan menawarkan diskon tambahan untuk tujuan populer, seperti Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok.
Di sisi lain, pemerintah harus tetap mendorong masyarakat agar lebih mengeksplorasi tujuan wisata di dalam negeri.
Kampanye promosi pariwisata #DiIndonesiaAja diharapkan semakin gencar dilakukan, menyoroti keindahan Danau Toba (Sumatera Utara), Raja Ampat (Papua Barat Daya), hingga Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).
Kementerian Pariwisata juga harus terus bekerja keras mengedukasi pelaku pariwisata untuk menciptakan pengalaman yang ramah keluarga dan inklusif.
Bagi banyak pihak, penurunan harga tiket ini lebih dari sekadar angka di layar aplikasi perjalanan. Ini adalah cerminan bagaimana sektor penerbangan dan pariwisata mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar.
Langkah ini tidak hanya menciptakan peluang bagi masyarakat untuk bepergian, tetapi juga menghidupkan kembali sektor pariwisata sebagai salah satu motor penggerak ekonomi nasional.
Di pengujung tahun, keputusan ini telah mengubah narasi liburan akhir tahun. Dari cerita tentang perjalanan mahal yang membebani, hingga kisah tentang kesempatan menikmati dunia baru tanpa harus mengorbankan anggaran.
Bagi pemerintah, momen ini adalah bukti bahwa kebijakan yang dirancang dengan baik dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat luas.
Sementara bagi masyarakat Indonesia, ini adalah langkah kecil menuju pengalaman liburan yang semakin inklusif dan terjangkau.