Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa negara harus berkepentingan sekaligus berperan dalam memberdayakan agama untuk meningkatkan kualitas moral warga. "Negara di satu sisi memang harus memisahkan diri dengan agama, tetapi juga jangan bermusuhan karena peran agama sangat penting dalam peningkatan kualitas moral warga," katanya dalam "Pengajian Komunitas Titik Temu" bertema "Konstitusi dan Kemajemukan Agama di Indonesia" yang diadakan oleh "Nurcholis Madjid Society" di Jakarta, Kamis. Fungsi negara dalam hubungannya dengan agama, menurut Jimly, secara realistis bisa dilakukan dengan memfasilitasi semua aliran ataupun kepercayaan. "Jadi, hubungan antara negara dengan agama bukan terjadi dalam bentuk pengakuan terhadap agama tertentu sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS)," kata Jimly. UU PNPS menyebut bahwa negara hanya mengakui enam agama yaitu adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. "Negara tidak berhak untuk mengakui agama karena usia agama jauh lebih tua dibandingkan dengan usia negara," kata Jimly. Jimly kemudian memaparkan lima macam bentuk hubungan antara negara dengan agama. Yang pertama menurut dia adalah bentuk ekstrem yakni pemusuhan terhadap agama sebagaimana terjadi dalam negara-negara Komunis di Eropa Timur pada masa perang dingin. "Mereka tidak membolehkan agama hidup di ruang publik dan meng-agitasi masyarakat negaranya untuk ikut memusuhi agama," kata Jimly. Pola hubungan antara negara dan agama yang kedua bisa ditemukan di Prancis dan Turki yakni negara sama sekali tidak membolehkan simbol-simbol agama muncul di ruang publik, namun di sisi lain mengizinkan masyarakatnya untuk berkeyakinan terhadap Tuhan. "Model yang ketiga adalah hubungan yang moderat sebagaimana bisa ditemui di Amerika Serikat. Di sini, negara secara tegas memisahkan diri dengan agama, namun sekaligus berkepentingan memberdayakan agama," kata Jimly. Kontinum keempat hubungan agama dan negara dalam pandangan Jimly bisa ditemukan di Indonesia. Negara itu, menurut Jimly tidak secara formal memisahkan diri dari prinsip ketuhanan, namun tidak memaksa penduduknya untuk memeluk aliran kepercayaan tertentu. "Yang terakhir bisa kita lihat di Arab Saudi atau Brunei Darussalam yang secara formal berafiliasi dengan agama tertentu," kata dia. Menurut Jimly, hubungan yang ideal antara kedua komponen kehidupan masyarakat itu adalah pola yang ketiga, namun di sisi lain mengingatkan bahwa Indonesia membutuhkan waktu untuk mencapai idealitas tersebut. (*)
Jimly: Negara Harus Berkepentingan untuk Berdayakan Agama
Kamis, 29 Maret 2012 23:11 WIB