Surabaya (ANTARA) - Pengasuh Pesantren Mambaul Hikmah Kaliwungu Kendal, Jawa Tengah, Gus Rifqil Muslim Suyuthi menyatakan Generasi Z Islami (GenZI) dapat menjadi patriot atau superhero bila mampu berperan dan bukan baperan (bawa perasaan/emosi).
"Patriot itu apa yang bisa kita berikan, jangan baperan, tapi harus berperan, jangan bilang leluhur saya begini, tapi bilang saya lho begini," katanya dalam Majelis Subuh GenZI (MSG) edisi ke-14 di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS), Minggu.
Saat tampil berduet dengan sang istri yang juga putri pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jatim, Imaz Fatimatuz Zahra (Ning Imaz) dalam MSG bertema "GenZI, Patriot Masa Kini" itu, dirinya berpesan agar GenZI berperan sebagai patriot atau pahlawan dengan meningkatkan kualitas.
"Semua orang bisa menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, bagi orang terdekat dan kawan, minimal jadi diri sendiri yang terbaik dengan cara memperbaiki kualitas diri secara keilmuan, baru manfaat pahlawan bagi orang lain," katanya.
Dalam MSG yang dihadiri ribuan GenZI itu, Ning Imaz mengatakan Al-Qur'am mengupas pemuda secara istimewa, bahkan diungkapkan dalam surat khusus yakni Al-Kahfi yang menceritakan Pemuda Ashabul Kahfi, yang heroik dan diberi pertolongan Allah karena beriman dan tidak menyimpang.
"Nabi Muhammad juga mempunyai sahabat muda yang disebut agent of change, yakni Sahabat Ansor. Jadi, Allah menyebut pemuda itu mempunyai dampak luar biasa, karena ada waktu dan tenaga, karena itu untuk menjadi patriot itu tidak perlu menjadi influencer, tapi agama mengajarkan untuk jangan menyimpang," katanya.
Untuk menjaga diri dari penyimpangan atau melanggar agama, Ning Imaz memberikan tiga resep yakni iman dan menyandarkan hidup kepada Allah; memiliki motivasi dan disiplin karena motivasi, disiplin, dan ketrampilan yang dibiasakan akan menjadi perilaku dan membuat manusia berbeda dengan mesin dan akhlak atau adab (moralitas dan budaya/tradisi).
Dalam kesempatan itu, Ning Imaz sempat menjawab pertanyaan tentang feminisme. "Islam memang ingin perempuan itu berdaya, seperti Sayyidah Fatimah yang menjadi ibu, Sayyidah Aisyah sebagai intelektual, Sayyidah Khadijah sebagai perempuan mandiri, dan sebagainya," katanya.
Namun, posisi berdaya bagi perempuan itu bukan untuk berkompetisi dengan laki-laki, namun berkolaborasi dengan laki-laki, karena wanita dan laki-laki memiliki fitrah yang berbeda yakni laki-laki sebagai pengayom atau nafkah dan wanita sebagai pengasuhan atau anak, karena itu laki-laki diberi peran wali, nafkah, dan nikah sesuai fitrah.