Surabaya (ANTARA) - Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya mengungkap tindak pidana penipuan daring atau online scamming yang dilakukan oleh komplotan warga negara asing beranggotakan sepuluh orang asal China dan Vietnam.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Aris Purwanto menjelaskan, komplotan warga negara asing ini tiba di Indonesia menggunakan visa wisata.
"Mereka menyewa rumah di kawasan perumahan elit Villa Centra Raya Citraland Surabaya sejak 20 Maret 2023. Dari rumah itulah komplotan ini dengan menggunakan telepon pintar beroperasi melakukan penipuan daring selama 12 jam, mulai pukul 10.00 hingga 22.00 WIB setiap hari," katanya kepada wartawan di Surabaya, Selasa.
Sepuluh pelaku diringkus saat polisi melakukan penggerebekan di rumah tersebut. Sembilan pelaku diantaranya merupakan warga negara China dan satu lainnya warga negara Vietnam.
Selama setahun lebih komplotan tersebut menawarkan berbagai jenis produk murah secara daring, dengan harga berkisar mulai Rp10 ribu hingga Rp2 juta.
Para pelaku, mampu menjual barang hingga 1.000 unit per hari melalui aplikasi Tiktok, Wechat dan Dou Yin. Namun setelah ada transaksi pembayaran dari pembeli, barang yang dijanjikan tidak pernah dikirim.
Kasat Reskrim AKBP Aris Purwanto menambahkan, komplotan tersebut juga melakukan penipuan dengan modus menjajakan cinta secara daring atau love scamming.
"Terduga yang perempuan tergabung dalam grup Wechat. Setelah memperolah teman di media sosial tersebut kemudian melakukan video seks. Kemudian melakukan pemerasan terhadap para korban," ujarnya.
Modus penipuan daring lainnya yang dijalankan oleh komplotan ini adalah memeras pejabat-pejabat di negeri China yang diketahui sedang bermasalah. Yaitu dengan menghubungi melalui telepon dan mengaku sebagai penegak hukum, yang ujung-ujungnya meminta sejumlah uang melalui transfer bank.
"Setiap pelaku mendapatkan imbalan bervariasi, mulai dari Rp5 juta, Rp15 juta per bulan tergantung dari hasil penipuan yang didapat," ucap Aris.
Para pelaku dijerat Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ancaman hukumannya pidana penjara selama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.