Surabaya - Pertarungan yang takkan pernah selesai dalam lapangan perekonomian adalah pertumbuhan versus pemerataan. Ada yang mengkritik faktor pertumbuhan hanya bersifat formalitas, karena pertumbuhan bisa saja tinggi dalam angka, namun pertumbuhan itu tidak menetes secara merata, karena itu mayoritas masyarakat masih tetap miskin. Oleh karena itu, pemerataan itu merupakan faktor yang jauh lebih penting untuk mendorong kemajuan bersama, kendati diperlukan waktu lama, namun hasilnya akan lebih baik, karena tidak akan ada kesenjangan yang menyertai. Namun, faktor pemerataan juga dikritik sebagai persoalan rumit yang tidak akan bisa selesai dalam satu dekade dan bahkan satu dasa warsa sekalipun. Oleh karena itu, pertumbuhan itu merupakan faktor yang mutlak untuk mendorong "roda" pembangunan berjalan dan mengentaskan pengangguran dan kemiskinan, kendati belum merata, namun perusahaan besar dapat diminta menolong mereka yang belum tumbuh secara bertahap. Perdebatan tentang pertumbuhan versus pemerataan itu ibarat perdebatan tentang ayam versus telur yang tidak diketahui asal usulnya. Masalahnya, perdebatan itu kini semakin hiruk pikuk sehubungan dengan berkembangnya teknologi informasi, sehingga diskusi pun menjadi debat kusir antara kapitalisme, liberalisme, sosialisme, syariat-isme, dan isme-isme lainnya. Agaknya, pergumulan pertumbuhan versus pemerataan yang kini berganti menjadi isme-isme itu menjadi bahan diskusi cukup hangat dalam "Rembug Nasional Saudagar NU" yang digagas oleh Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) di Surabaya pada 26-29 Januari 2012. Yang menarik, hasil dari Rembug Nasional Saudagar Nahdlatul Ulama (NU) yang akan direkomendasikan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu menunjukkan pilihan NU yakni "jalan tengah" antara pertumbuhan versus pemerataan. "Nantinya, hasilnya diharapkan bisa mengembangkan semangat perekonomian kebangsaan, karena itu hasilnya pasti kami serahkan ke Presiden SBY," ujar Ketua Umum HPN Pusat Abdul Kholik di Surabaya (29/1/2012). Poin penting yang dihasilkan dari diskusi yang diikuti sekitar 150 saudagar nahdliyin se-Indonesia tersebut adalah pentingnya sinergitas antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah hingga besar. "Di sektor perekonomian juga dibutuhkan semangat toleransi dan pluralisme. Upaya memberdayakan pengusaha kecil itu wajib, tapi upaya membuat nyaman pengusaha besar itu juga penting untuk mempertahankan ekonomi bangsa," katanya. Hal itu, kata pimpinan perusahaan PT Azet Surya Lestari yang bergerak di bidang "manufacturing" alat-alat kelistrikan tenaga surya itu, akan terwujud kalau pengusaha kecil dan besar bisa sinergis (kerja sama), bukan menganggap pengusaha kecil merepotkan dan pengusaha besar terlalu tamak. "Banyaknya unjuk rasa dan tuntutan kaum buruh saat ini merupakan salah satu dampak tidak adanya kerja sama antara pengusaha besar dan kecil. Kalau pengusaha kecil berkompetisi dengan yang besar, pasti kalah. Contohnya, minimarket di perkampungan pasti mematikan pasar atau toko tradisional, padahal mereka seharusnya bisa bersinergi," katanya. Sinergisitas Hasil rembug nasional yang mendorong kerja sama atau gotong royong pengusaha besar dan pengusaha UMKM itu sejalan dengan harapan Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqil Siroj dalam sambutan pada pembukaan rembug yang dilakukan Wapres Boediono itu. "Kami (PBNU) minta pemerintah untuk membela ekonomi kerakyatan, karena ekonomi kerakyatan bukan hanya menyangkut nasib orang kecil, namun hal itu akan menentukan kedaulatan ekonomi nasional. Dengan pendirian yang tak pernah berubah, saya tak bosan menyerukan bahwa ekonomi kerakyatan wajib dibela," katanya. Agaknya, pentingnya ekonomi kerakyatan itu juga disuarakan Guru Besar FE UI Prof Dr Sri-Edi Swasono. Ia menilai Indonesia sesungguhnya memiliki sistem ekonomi yang lebih pas yakni koperasi. "Kapitalis mengajarkan persaingan, tapi koperasi mengajarkan gotong royong atau kerja sama," katanya di sela-sela penandatanganan nota kesepahaman antara Dekopin Jatim, Dinas Koperasi dan UKM, serta 23 PTN/PTS se-Jatim di Surabaya (6/1/2012). Mantan Ketua Umum Dekopin Pusat itu mengemukakan kapitalis itu mementingkan persaingan dan pasar, sehingga kapitalis hanya membangun kemakmuran pengusaha besar dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai penonton, sebaliknya koperasi membangun kerja sama atau gotong royong untuk kemakmuran bersama, baik pengusaha besar, kecil, maupun rakyat. "Koperasi sebagai sokoguru terlihat dari koperasi tembakau dan cengkih yang menyokong (menyumbang) pabrik rokok, atau koperasi kopra yang menyokong pabrik minyak Bimoli. Jadi, saya bukan tidak setuju supermarket, tapi saya setuju supermarket yang di dalamnya ada gabungan (kerja sama) mereka yang besar dan kecil," katanya. Menurut menantu mantan Wapres Mohammad Hatta itu, koperasi merupakan "sokoguru" ekonomi yang sudah diakui dunia, meski dunia masih belum sepenuhnya menerapkan koperasi, namun tren ke arah sana (koperasi) sudah ada, terbukti dari sosok Muhammad Yunus dengan Grameen Bank yang menerima Nobel. Ia mencontohkan sistem kapitalis yang gagal membangun Papua, karena keberadaan Freeport justru menjadikan Papua sebagai provinsi termiskin di Indonesia dengan jumlah 37,8 persen masyarakat miskin, padahal kemiskinan nasional secara rata-rata hanya 13 persen. "Kita kagum pada investor asing karena kita bermental 'terjajah' yang minder, sehingga kepala daerah justru merampok, mengobral, atau menggadaikan negara kepada investor asing, padahal koperasi akan membangun kemakmuran bersama untuk meningkatkan daya saing bangsa kita di dunia," katanya. Oleh karena itu, katanya, ekonomi kapitalis yang juga mengajarkan teori pertumbuhan harus disikapi secara kritis, karena pertumbuhan yang mengatur tidak boleh ada diskriminasi antara pengusaha besar dan kecil justru tidak adil, sebab pengusaha kecil tidak akan pernah mampu bersaing sampai kapan pun. "Karena itu, koperasi justru ada saling menyokong antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil. Mana mungkin Christ John akan menang kalau diadu dengan Mike Tyson, karena itu pengusaha ekonomi kecil harus didukung untuk menjadi besar. Itulah koperasi," katanya. Terkait pentingnya penanaman nilai-nilai koperasi, ia mengkritik sikap universitas yang mengajarkan kewirausahaan, namun kewirausahaan itu justru melahirkan kapitalis, karena mereka akan mementingkan persaingan. Karena itu universitas harus mengajarkan teori ekonomi secara koperasi dan bukan sekadar teori ekonomi yang kapitalis. "Karena itu, saya mengajari para dosen FE di beberapa universitas di Semarang, Jember, Makassar, dan dalam waktu dekat dengan para dosen FE di Surabaya untuk merumuskan pengajar koperasi dan kurikulum koperasi di dalam universitas lagi," katanya. Agaknya, hasil Rembug Nasional Saudagar NU itu menyodorkan sebuah pesan penting yakni perlunya konsep koperasi dikembangkan pemerintah melalui sinergisitas antara pengusaha besar, menengah, dan kecil, sebab persaingan tanpa konsep koperasi justru melahirkan konflik di sektor perekonomian. Mau ?! (*)
Pesan dari Rembuk Saudagar NU
Senin, 30 Januari 2012 19:17 WIB