Iraqiya akan Akhiri Boikot Parlemen Irak
Senin, 30 Januari 2012 5:26 WIB
Baghdad (ANTARA/AFP) - Blok sekuler Iraqiya yang memperoleh sebagian besar kursi dalam pemilihan umum Irak pada Maret 2010 akan mengakhiri boikot parlemen yang dilakukannya sejak pertengahan Desember, kata seorang juru bicaranya, Minggu.
"Iraqiya memutuskan wakil-wakilnya akan kembali menghadiri pertemuan-pertemuan parlemen," kata Maysoon al-Damluji pada jumpa pers setelah pertemuan para pemimpin dan anggota parlemen dari blok itu.
Pertemuan itu dihadiri oleh pemimpin-pemimpin Iraqiya, termasuk mantan Perdana Menteri Iyad Allawi, Deputi PM Saleh al-Mutlak, Ketua Parlemen Osama al-Nujaifi, dan Menteri Keuangan Rafa al-Essawi.
"Para wakil Iraqiya akan mengikuti lagi pertemuan-pertemuan di parlemen Selasa mendatang. Itu yang kami putuskan hari ini," kata anggota parlemen Aytab al-Duri kepada wartawan.
Namun, menurut Duri, keputusan belum diambil untuk mengakhiri boikot sidang kabinet oleh menteri-menteri Iraqiya dan "itu akan menjadi langkah yang akan datang".
Iraqiya melakukan boikot parlemen dan kabinet untuk memperotes apa yang disebutnya sentralisasi kekuasaan oleh Perdana Menteri Nuri al-Maliki, dan sejak itu blok tersebut mendesak Maliki menghormati perjanjian pembagian kekuasaan atau mengundurkan diri.
Irak dilanda kekerasan yang menewaskan puluhan orang dan kemelut politik sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak.
Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki (Syiah) sejak Desember mengupayakan penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni.
Para ulama Sunni memperingatkan bahwa Maliki sedang mendorong perpecahan sektarian, dan pemrotes memadati jalan-jalan di Samarra, Ramadi, Baiji dan Qaim, banyak dari mereka membawa spanduk mendukung Hashemi dan mengecam pemerintah.
Para pejabat Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tareq al-Hashemi pada Senin (19/12) setelah mereka memperoleh pengakuan yang mengaitkannya dengan kegiatan teroris.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Irak Mayor Jendral Adel Daham mengatakan pada jumpa pers, pengakuan para tersangka yang diidentifikasi sebagai pengawal Hashemi mengaitkan wakil presiden tersebut dengan pembunuhan-pembunuhan dan serangan.
Surat perintah penangkapan itu ditandatangani oleh lima hakim, kata Daham.
Sedikitnya 13 pengawal Hashemi, seorang pemimpin Sunni Arab, ditangkap dalam beberapa pekan terakhir, namun tidak jelas berapa orang yang kini ditahan.
Hashemi, yang membantah tuduhan tersebut, kini bersembunyi di wilayah otonomi Kurdi di Irak utara, dan para pemimpin Kurdi menolak menyerahkannya ke Baghdad.
Presiden wilayah otonomi Kurdi Irak Massud Barzani menyerukan perundingan darurat untuk mencegah runtuhnya pemerintah persatuan nasional, dengan memperingatkan bahwa "keadaan sedang mengarah ke krisis yang dalam". (*)