"Good Bye Jakabaring"
Senin, 21 November 2011 12:36 WIB
Oleh A.R. Loebis
Jakarta - Bila sejenak ingin merenung apa yang paling diingat, paling mengesankan, paling bersejarah dan kelak paling menentukan jalannya olahraga nasional, tak lain tak bukan adalah: Jakabaring!
Jakabaring merupakan kata paling banyak disebut-sebut sepanjang berlangsungnya SEA Games ke-26, bukan Gelora Senayan, Waduk Cipule, Kelapa Gading, UI Depok, Sawangan, Kuningan, TMII, Pulau Putri, Rawa Mangun, Sentul, Subang, Jagorawi, Puncak, Cibubur, Pantai Marina dan beberapa lainnya tempat event pertandingan.
Mengapa kawasan rawa-rawa di Seberang Ulu dan 8 Ulu Bungaran dan Silaberanti itu disebut Jakabaring?
Ini masalah sejarah dan mungkin luput dari perhatian para tamu yang berkunjung ke kota mpek-mpek itu.
Tapi apakah ia ada dalam catatatan sejarah Bumi Sriwijaya itu?
Apakah Jakabaring nama seorang tokoh pada jaman kerajaan Sriwijaya?
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin amat sederhana menjawabnya: Dulu daerah itu berupa rawa-rawa. Hanya beberapa orang yang menghuni tempat itu, terdiri atas suku Jawa, Kabale, Batak dan Komering.
"Jika disingkat menjadi Jakabaring. Bukan nama seorang tokoh tapi namanya enak didengar. Kalau dijadikan semacam tokoh atau maskot tidak ada masalah ucapnya," kata Alex dalam salah satu laman nasional.
Dalam catatan sejarah pada laman lain, disebutkan, nama Jakabaring tidak bisa dilepaskan dari sosok Sersan Mayor Inf Tjik Umar, anggota TNI yang pernah bertugas di Kodam II Sriwijaya.
Tjik Umar turut andil dalam penentuan nama Jakabaring. Ia adalah warga Lampung yang membangun rumah di dalam hutan belukar berawa-rawa di belakang Markas Poltabes Palembang sekarang. Tjik Umar (71) sesudah pensiun tinggal bersama isteri keduanya di Jalan Ki Merogan Lorong Mawar Kertapati, Palembang.
Tjik Umar menuturkan, pemberian nama Jakabaring adalah hasil pemikirannya sendiri. Ketika itu, pada 1972 pemerintah menggusur pemukiman warga di kawasan 7 dan 8 Ulu, karena terkena proyek pengembangan kawasan Jembatan Ampera.
Tjik Umar pada tahun itu masuk Jakabaring. Saat itu kawasan Jakabaring masih hutan belukar dan berawa. Ia langsung membangun rumah dengan menimbun rawa.
Setelah isterinya meninggal, Tjik Umar menikah lagi dan membiarkan rumahnya didiami mertua, anak serta cucu- cucunya. Sedangkan dia pindah ke Kertapati bersama isteri keduanya. Pada 1972 juga, dirinya diangkat sebagai Ketua RT 14, Kelurahan 8 Ulu.
Sebagai Ketua RT, ia menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bahkan hingga jumlah warganya mencapai 460 KK. Tjik Umar cukup disegani dan dihormati di kawasan Jakabaring.
Tjik Umar melakukan penelitian dan mendapati asal warga di sana ada dari Jawa, Batak (Sumut), Kaba (Lekipali), Komering Ilir, Komering Ulu dan Lampung.
Kebetulan, lanjut Tjik Umar, warga di sana ada yang namanya Suparto asal Jawa disingkatnya menjadi JA. Ada pula Drs Zulkipli asal Kaba (Lekipali) disingkat KA. Ada warga namanya A Kadir Siregar asal Batak Sumut disingkat BA dan Ali Karto (Purn TNI AD) asal Komering Ilir serta Kamaluddin (Purn TNI) asal Komering Ulu, disingkat RING. Maka diperoleh singkatan JA, KA, BA, Ring lalu digabung menjadi akronim Jakabaring.
Hari jadi terbentuknya kawasan Jakabaring, seperti disebutkan Tjik Umar dalam laman (wikimu.com), ditetapkan pada 26 April 1972. Harapan Tjik Umar bahwa daerah ini akan berkembang sekarang hampir menjadi kenyataan.
Simbol persatuan
Kendati tidak ada catatan sejarah konkret, tapi kalau ungkapan Alex Noerdin dan Tjik Umar benar --bahwa Jakabaring merupakan singkatan Jawa-Kaba-Batak-Komering-- maka ini merupakan simpul persatuan luar biasa sebagai representasi NKRI.
Jakabaring adalah miniatur Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi bersatu, bersatunya berbagai etnis dan agama membentuk kekuatan hebat, yang harus direpresentasikan melalui olahraga.
Di atas lahan Jakabaring sekitar 325 hektar yang dahulu rawa-rawa atau tempat "jin buang anak" itu, kini sudah berdiri berbagai fasilitas olahraga lengkap dan modern, ada penampungan atlet sedangkan danau alam masih tetap menghiasi kawasan itu.
Alex memandang jauh ke depan, menganggap sebenarnya SEA Games hanyalah sasaran antara, bukan sasaran akhir, karena di Jakabaring bukan saja merupakan tempat pemusatan olahraga tetapi juga akan di bangun sekolah tinggi olahraga nasional.
Kini Jakabaring menggeliat. Jakabaring sudah lama menjadi bukti bagi yang menganggap ada perbedaan perlakuan pembangunan antara kawasan di Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Di kawasan itu dibangun Gedung Islamic Centre, Masjid Agung di simpang empat, terminal dan pasar induk, serta pembangunan Jembatan Musi 3 yang menjadi penyangga transportasi.
Berbagai kantor ada di kawasan Jakabaring seperti Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Poltabes Palembang, Graha Teknologi, serta gedung DPRD Kota Palembang dan tentu saja Stadion Jakabaring yang megah itu.
"Bagi jajaran pemerintah yang menggunakan fasilitas negara, selesaikan pertanggungjawaban dengan baik," diperingati Presiden SBY ketika meresmikan penggunaan Jakabaring Sport City (JSC) pada momentum bersejarah (11/11/11).
Selain pertanggungjawaban pembangunan fasilitas Jakabaring, tentu SBY ingin mengatakan, pertanggungjawaban masa depan kawasan itu, artinya, jangan ditelantarkan.
Sekian ribu atlet, ofisial, wartawan dari 11 negara peserta event olahraga Asia Tenggara, dengan terharu pasti akan berulang kali memandang ke belakang, saat meninggalkan Jakabaring usai penutupan SEA Games XXVI Selasa malam.
"Good bye Jakabaring, we meet again in Yangoon and Nay Pyi Taw, 2013."(*)