Oleh Destyan Sujarwo Tulungagung - Luar biasa. Dua kata yang digabung dalam satu frasa pengucapan untuk menggambarkan ekspresi kekaguman tersebut, rasanya memang layak dialamatkan pada prosesi "bersih nagari" yang digelar dalam rangka memperingati puncak hari jadi Kabupaten Tulungagung ke-806, Jumat (18/11) pagi. Saat pertama kali menyaksikan pemberangkatan rombongan pengiring kirab panji Kabupaten Tulungagung serta dua tumpeng raksasa "buceng lanang" dan "buceng wadon" dari depan kantor pemda setempat, pada pukul 07.30 WIB, sebenarnya tidak ada yang tampak istimewa. Sekalipun peserta kirab mencapai tiga ribuan orang dari unsur PNS dan sebagian siswa, prosesi awal bersih nagari ini justru dengan cepat memicu rasa bosan bagi siapa saja yang melihatnya. Mungkin pendapat ini sedikit subyektif, karena setidaknya keluarga peserta pawai yang menonton dari pinggir jalan tetap bisa merasa bangga, dan berupaya maksimal mengabadikan anak/suami/istri/faimilinya yang ikut rombongan kirab, meski hanya dengan mengandalkan kamera ponsel. Tetapi memang begitulah faktanya, ritual kirab dua buceng atau tumpeng yang dianalogikan sebagai buceng lanang (pria) dan buceng wadon (perempuan) tersebut, terkesan monoton karena hanya menampilkan arak-arakan orang berpakaian adat Jawa yang diiringi puluhan penari cantik di depannya. Secara estetika, daya tarik budaya maupun kepariwisataannya lemah. Sebab, mayoritas peserta kirab yang terdiri dari kalangan pegawai negeri sipil, itu tidak sepenuhnya memahami peran yang sedang mereka mainkan sebagai bagian dari ritual bersih nagari. Kondisi tersebut, berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan puluhan penari "ngarak-ngarak" yang telah dirias layaknya rombongan dayang-dayang kerajaan. Mereka tampil dengan penuh totalitas, tetapi itupun beberapa justru memperlihatkan kesan terlalu kaku. Padahal, ratusan warga terlanjur menonton di pinggir jalan. Namun, semua kedongkolan selama prosesi kirab seakan langsung terbayar lunas manakala kaki mulai menginjak halaman kompleks pendopo utama Kongas Arum Kusumaning Bongso yang menjadi simbol istana Kadipaten (Kabupaten) Tulungagung, Jawa Timur (Jatim). Meski mendung terus menggelayut sejak pagi buta, wajah pendopo yang telah dirias sedemikian rupa berikut sejumlah tenda tambahan di kanan-kirinya membuat suasana tampak begitu agung. Apalagi, di sana-sini terlihat sejumlah pejabat dan tamu undangan yang telah duduk di deretan kursi tamu undangan, lengkap dengan aneka busana adat Jawa. Aura peradaban Jawa kuno semakin kental terasa tatkala kaki benar-benar telah menginjak teras pendopo yang berlapis karpet merah. Pencahayaan lampu yang lembut tapi cukup terang, bau dupa kemenyan yang memenuhi seantero ruangan, serta aneka kembang sedap malam yang ditebar di jalur masuk bagian tengah pendopo membuat suasananya berubah menjadi eksotis. Ratusan tamu undangan yang duduk dideretan kursi yang ada di sisi kanan-kiri ruang pendopo tak ubahnya jajaran abdi dalem yang tengah menunggu prosesi serah-serahan panji pusaka milik kabupaten yang tengah dalam perjalanan. Nuansa kejawen semakin terasa kental dengan iringan musik gamelan serta nyanyian langgam Jawa kuno, sehingga mencitrakan suasana kerajaan tempo dulu; megah, anggun, dan berwibawa. Tak heran jika banyak tamu yang datang, termasuk sejumlah wartawan, dibuat berdecak kagum dengan kemewahan suasana yang ditampilkan. "Dalam ritual bersih nagari seperti ini sebenarnya hal yang lumrah, karena memang telah menjadi agenda tahunan pemerintah daerah dalam rangka memperingati hari jadinya yang ke-806. Namun, untuk pelaksanaan tahun ini kami akui memang paling istimewa," ujar salah seorang tokoh budayawan Tulungagung Ahmad Pitoyo. Prosesi masuknya rombongan kirab panji maupun arak-arakan buceng lanang dan buceng wadon sendiri juga berbeda jauh saat melewati pintu gerbang pendopo Kongas Arum Kusumaningbongso. Jika sebelumnya mereka melakukan kirab dengan gaya berjalan yang rilek, saat masuk lingkungan pendopo mereka melakukannya dengan sangat rapi menggunakan pakem Jawa Kuno yang penuh penghormatan dan sikap tunduk patuh pada pimpinan kerajaan atau adipati. "Begitu pasukan pembawa panji Tulungagung masuk, mereka langsung disambut tari dandang gendis yang diiringi beberapa langgam Jawa yang telah dimodifikasi pada beberapa angel aransemennya," terang Pitoyo. "Purak Tumpeng" Puncak kemeriahan dari inti acara bersih nagari di semua daerah adalah perebutan isi tumpeng yang diidiomkan oleh masyarakat Jawa sebagai simbol kejayaan, kesejahetaraan, dan kedamaian. Pemandangan itu pula yang terlihat saat ratusan warga Tulungagung saling berebut aneka hasil bumi, puluhan "ingkung" daging ayam, serta buah-buahan. Aksi spontan itu dan nyaris tidak terkendali itu terjadi hanya sesaat setelah rangkaian prosesi "bersih nagari" dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Tulungagung ke-806 usai digelar di pendopo utama Kongas Arum Kusumaning Bongso, sekitar pukul 10.00 WIB. Puluhan atau bahkan ratusan warga yang telah menunggu di depan kompleks pendopo segera merangsek masuk begitu pintu gerbang dibuka, dan berbaur dengan puluhan PNS yang sudah lebih dulu mengambil beberapa bagian tumpeng. Sejumlah petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja sempat berusaha membuat pagar betis menuju jalan raya alun-alun yang berjarak sekitar 50-an meter dari pintu gerbang pendopo. Namun karena jumlah warga terlalu banyak, upaya pengawalan yang mereka lakukan sia-sia. Ratusan warga yang rata-rata berasal dari kelompok masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah tersebut langsung semburat masuk begitu pintu gerbang pendopo dibuka dan mobil pikap pengangkut kedua tumpeng raksasa hendak berjalan keluar. Sejumlah petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja sempat berusaha membuat pagar betis menuju jalan raya alun-alun yang berjarak sekitar 50-an meter dari pintu gerbang pendopo. Namun karena jumlah warga terlalu banyak, upaya pengawalan yang mereka lakukan sia-sia. Ratusan warga yang rata-rata berasal dari kelompok masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah tersebut langsung semburat masuk begitu pintu gerbang pendopo dibuka dan mobil pikap pengangkut kedua tumpeng raksasa hendak berjalan keluar. Meski sempat terjadi upaya saling berebut isi tumpeng, secara umum ritual puncak peringatan hari jadi Kabupaten Tulungagung berjalan lancar. Sembari saling berebut untung demi mendapat makanan gratis, mereka berharap mendapat semacam barokah (kebaikan) dari hasil "purak" atau ritual rebutan sesaji berbentuk "buceng lanang" dan "buceng wadon" tersebut. "Purak buceng lanang dan buceng wadon itu memang merupakan bagian dari ritual 'bersih nagari' yang tidak bisa terpisahkan. Sebagian warga percaya tahapan ini sebagai bagian paling penting karena memberi makna pemerataan kesejahteraan," ujar kabag Humas Pemkab Tulungagung Mariyani. Dalam pesta perayaan hari jadi ke-806 kali ini, Pemkab Tulungagung menyelenggarakan sedikitnya 36 kegiatan, mulai dari jenis olahraga, lomba kebersihan, pawai becak, pegalaran wayang kulit, hingga digelarnya salah satu mata kegiatan baru bertajuk Tulungagung Fashion Festival (TFF). Rangkaian kegiatan telah berlangsung sejak tanggal 30 Oktober lalu dan sesuai jadwal akan berakhir pada 13 Desember 2011.(*)
Estetika Budaya dalam Ritual Bersih Nagari Tulungagung
Minggu, 20 November 2011 21:35 WIB