Bondowoso (ANTARA) - Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) memperingati hari lahir atau harlah ke-101 tahun pada 31 Januari 2024.
Membahas organisasi keagamaan dalam konteks Indonesia, rasanya ada yang kurang jika tidak menyebut saudara kembar dari NU, yakni Muhammadiyah.
Dalam imaji ideal tentang Indonesia yang direpresentasikan sebagai burung Garuda alias negara besar, posisi NU-Muhammadiyah diibaratkan sebagai dua sayap.
Tanpa mengabaikan komponen bangsa lainnya, pencapaian Indonesia hingga titik saat ini, salah satunya berkat kepakan kompak dua sayap yang berpegang teguh pada semangat selalu membawa bangsa ini tetap utuh.
Baca juga: Gus Mus sebut Urusan NU memenangkan Indonesia, bukan capres
Pilpres
NU dengan Muhammadiyah yang sejatinya lahir dari rahim yang sama, yakni Islam Indonesia, seolah-olah memilih titik berat berbeda dalam mengisi kemerdekaan RI.
NU lebih banyak fokus pada dunia pendidikan keagamaan, khususnya pondok pesantren, sedangkan Muhammadiyah banyak fokus ke pendidikan formal dan kesehatan.
Keduanya kini sudah sulit untuk dibedakan dari sisi kefokusan program perjuangan. NU kini juga mulai merambah ke pengembangan pendidikan formal yang ditandai dengan banyak berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama dan mengembangkan rumah sakit, sedangkan Muhammadiyah juga mulai mengembangkan pendidikan berbasis pesantren.
Dalam realitas sosial, banyak anak keluarga NU menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah, di sisi sama tidak sedikit pula keluarga Muhammadiyah yang mengirimkan anaknya ke pesantren NU.
Fenomena tersebut secara nyata memupus sangkaan adanya rivalitas pada kedua ormas
Yang terjadi justru menguatkan ikatan pada basis akar rumput umat kedua ormas tersebut, yang muaranya memperkuat ikatan kebangsaan.
Menghadapi hajatan demokrasi lima tahunan, khususnya pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sikap NU dengan Muhammadiyah bisa dikatakan sama, meskipun dengan pemilihan jargon berbeda.
NU, lewat Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menegaskan bahwa organisasi yang didirikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari itu harus "memenangkan Indonesia", bukan justru memenangkan capres-cawapres tertentu, dengan terlibat dalam aksi dukung mendukung salah satu pasangan, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (01), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (02), dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md (03).
Sementara Muhammadiyah, lewat Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, beberapa kali menegaskan bahwa organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu bersikap netral.
Pilihan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia untuk menjaga jarak yang sama dengan pasangan capres-cawapres, termasuk dengan partai politik, itu sudah sesuai dengan semangat perjuangan dan landasan dari organisasi itu didirikan.
NU dan Muhammadiyah bukan partai politik, meskipun keduanya memiliki kedekatan sejarah dengan partai politik tertentu.
Pilihan untuk netral itu menjadi tepat karena sangat mungkin warga NU akan menentukan pilihan yang berbeda satu dengan lainnya, demikian juga dengan warga Muhammadiyah.
Jika pemimpin tertinggi NU dan Muhammadiyah memihak pada salah satu pasangan capres dan cawapres tertentu, maka hal itu berpotensi menimbulkan gesekan di kalangan sesama warga organisasi tersebut.
Pilihan jargon agar NU lebih memilih "memenangkan Indonesia" dalam pilpres kali ini sangat mendinginkan suasana, di mana menyebar dugaan atau tuduhan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan Sekjen Saifullah Yusuf mendukung pasangan capres-cawapres tertentu.
Meskipun sangat mungkin dugaan terhadap dua petinggi PBNU itu benar, setidaknya secara resmi keorganisasian, sampai saat ini tidak pernah ada pernyataan NU mendukung calon tertentu.
Muhammadiyah bukannya steril dari tuduhan memihak atau mendukung pasangan calon tertentu. Hanya saja penegasan berulang dari Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti terkait netralitas organisasi itu membuat isu dukungan menjadi menghilang.
Terkait sikap tidak memihak ke pasangan capres-cawapres manapun, baik NU maupun Muhammadiyah sejatinya mengarahkan warganya untuk mendukung suksesnya pemilihan umum atau pemilu, dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak suaranya pada 14 Februari mendatang.
Kembali ke sikap NU, lewat Gus Mus, yang mengingatkan untuk "memenangkan Indonesia" itu memiliki makna luas dan mendalam.
Pengurus dan warga NU diingatkan agar tidak larut dalam sikap membabi buta mendukung pasangan capres-cawapres tertentu hingga mengorbankan nilai persaudaraan dengan sesama Nahdliyyin, sesama Muslim, dan sesama warga bangsa.
Pesan itu bermakna, tentu saja bukan hanya untuk warga NU, akan tetapi untuk semua umat, bahkan bagi umat agama di luar Islam, yang hidupnya berada di dalam naungan "Garuda" dan tentunya menikmati hangatnya pelukan dua sayap kanan kiri bernama NU dan Muhammadiyah.
Pesan itu juga bermakna sebelum pelaksanaan pemilihan umum, hari pelaksanaan, dan setelah hasil pemilu diumumkan, bahkan untuk selamanya.
Nilai yang paling kasat mata dari jargon "memenangkan Indonesia" adalah tetap terjaganya persaudaraan dan persatuan, sehingga semua merasa aman dan nyaman hidup dalam negara warisan leluhur bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pesan Gus Mus juga bermakna bahwa siapapun yang menang dalam pilpres nanti, kita tetap selalu bergandengan tangan dan hati untuk merawat kehidupan yang penuh rukun dan tentram.
Bagi NU dan Muhammadiyah yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini, melindungi dan mengayomi umat lainnya adalah nilai yang melekat sebagai pengejawantahan dari ajaran agama. Bukankah nilai utama terkait hidup bersosial dalam Islam adalah "rahmatan lil 'alamin"? Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Alam itu ranahnya sangat luas, bukan sekadar manusia, apalagi hanya untuk umat Islam, atau hanya untuk warga NU dan warga Muhammadiyah.
Menghadapi Pemilu 2024 yang sangat mungkin pilihan kita berbeda pilihan dengan keluarga, berbeda dengan tetangga, berbeda dengan teman, pegangan yang tidak boleh dilepas adalah, kita tetap guyub dalam perbedaan itu.
Semangat terus menjaga obor Indonesia damai, tenteram, dan sejahtera, adalah hakikat dari "memenangkan Indonesia".
NU bersama Muhammadiyah memenangkan Indonesia
Rabu, 31 Januari 2024 8:08 WIB