Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra mengatakan rupiah mungkin masih berpeluang melemah terhadap dolar AS sehubungan sentimen terhadap aset berisiko terlihat masih negatif karena pasar masih memantau perkembangan di Timur Tengah.
"Dolar AS terkoreksi terhadap major currency pada perdagangan kemarin dan indeks dolar berada di 105.60 pagi ini dari sebelumnya di atas 106. (Hal ini) seiring dengan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS yang sedikit menurun, yield obligasi Tenor 10 tahun bergerak di sekitar 4,86 persen pagi ini, sebelumnya di sekitar 4,99 persen. Serangan darat Israel yang ditunda mungkin membantu menurunkan kekhawatiran pasar," ujar dia ketika dihubungi Antara, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, sentimen terhadap aset berisiko pada Selasa pagi ini terlihat masih negatif karena pasar masih memantau perkembangan di Timur Tengah. Sebagian indeks saham Asia masih bergerak negatif, seperti Nikkei, Hangseng, dan Kospi.
Baca juga: Selasa pagi ini rupiah dibuka naik jadi Rp15.878 per dolar AS
"Rupiah mungkin masih berpeluang melemah terhadap dolar AS ke arah Rp15.950 dengan potensi penguatan di sekitar Rp15.900," kata Ariston.
Dalam beberapa hari ke depan, terdapat sejumlah rilis data ekonomi AS yang akan dirilis. Mulai dari rilis data indeks Purchasing Managers' Index (PMI) aktivitas manufaktur dan jasa AS pada malam ini, data Building Permits AS pada Rabu (25/10) malam, data Produk Domestik Bruto dan Initial Jobless Claim AS pada Kamis (26/10) malam, serta data indikator inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS pada Jumat (27/10) malam.
"Kalau dari data belakangan ini, kelihatannya data ekonomi AS masih bagus," ungkapnya
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi menguat sebesar 0,35 persen atau 55 poin menjadi Rp15.878 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.933 per dolar AS.