Surabaya (ANTARA) - Kampung Lawas Maspati
Salah satu keberhasilan Pemkot Surabaya dalam mengelola wisata haritage tematik di antaranya ditunjukkan Kampung Lawas Maspati. Tematik yang dimaksud adalah pola pengembangan yang tidak lepas dari akar sosial dan kultural historis dari kawasan ini.
Kampung Lawas Maspati yang terletak di Kelurahan Bubutan, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Jawa Timur, ini banyak dihuni keluarga dari para pejuang kemerdekaan, khususnya mereka yang turut serta dalam pertempuran melawan penjajah pada 10 November 1945
Selain itu, Kampung Lawas Maspati juga menjadi salah satu tonggak kebangkitan "wong kampung" (warga kampung) untuk terus aktif berkreasi dan bertahan di era globalisasi, dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai orang kampung Surabaya asli atau Arek Suroboyo.
Di kampung itu ada lorong-lorong yang sejak dari dahulu sudah menjadi saksi sejarah panjang Kota Surabaya. Ada pula tempat-tempat bersejarah lainnya, seperti rumah yang dulunya sekolah desa, dan pada masa pendudukan Belanda disebut dengan Sekolah "Ongko Loro" (angka dua).
Ada juga bangunan bekas pabrik roti milik Haji Iskak yang juga pernah menjadi dapur umum kala pertempuran bersejarah 10 November 1945. Bangunan itu kini beralih fungsi menjadi Losmen Asri dengan arsitektur antiknya.
Tak jauh dari situ yaitu Maspati Gang V ada bekas Sekolah Rakyat (sekolah ongko loro) yang masih utuh. Di sana juga terdapat makam pasangan R. Karyo Sentono yang merupakan kakek dan nenek dari Joko Berek atau lebih dikenal sebagai Sawunggaling, pahlawan yang punya nama besar di Surabaya.
Destinasi yang jalur masuknya dari Jalan Semarang dan keluar di Jalan Bubutan ini merupakan kawasan yang rimbun dengan tanaman herbal. Mereka sudah banyak menerima wisatawan lokal dan mancanegara, antara lain dari Belanda, Korea dan Amerika Serikat.
Setiap wisatawan yang datang disambut dengan hiburan musik, lalu mereka diminta memakai sarung dan udeng. Terkadang para ibu datang dan menyambut mereka dengan kostum karnaval. Setelah lelah berkeliling, para wisatawan disuguhi nasi tumpeng dan jajan pasar, dengan minuman teh daun karet dan minuman olahan dari belimbing wuluh.
Pemkot Surabaya berupaya melibatkan masyarakat dalam pengelolaan destinasi wisata dengan cara melatih para pemuda menjadi pemandu wisata. Selain itu, memberi beberapa pelatihan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bidang pengolahan minuman markisa dan cincau yang hasilnya sebagian ditawarkan kepada para wisatawan. Mereka juga memamerkan proses daur ulang sampah maupun proses pengolahan air limbah.
Baca juga: Mengembangkan kawasan wisata heritage tematik di Surabaya
Kampung Lawang Seketeng
Destinasi wisata heritage lainnya adalah Kampung Lawang Seketeng yang berada di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng. Letaknya di dekat dengan Kampung Maspati dan hanya dibatasi oleh sungai Kalimas. Kampung itu diresmikan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2019.
Banyak sekali bukti-bukti otentik sejarah yang ditemukan di kawasan tersebut yang nantinya bakal dikoneksikan satu dengan lainnya. Seperti halnya Masjid Jamik Peneleh yang berdiri tahun 1.400 masehi di Jalan Peneleh Gang VI yang konon merupakan warisan Sunan Ampel sebelum beliau membangun masjid di kawasan Ampel Denta.
Begitu juga Jembatan Peneleh yang menghubungkan kawasan Jalan Gemblongan-Kramatgantung dengan kawasan Jalan Ahmad Jaiz (Peneleh-Plampitan). Jembatan Peneleh ini sangat bersejarah dan berumur jauh lebih tua dari Jembatan Merah. Di sana juga ada kompleks makam Belanda.
Selain itu, ada Langgar Dukur Kayu yang merupakan tempat mengaji Presiden Pertama RI, Soekarno. Bung Karno bersama Bung Tomo sering mengaji di langgar ini. Di tempat ini juga terdapat makam Mbah Pitono (guru ngaji Bung Karno), sebuah sumur tua, makam Mbah Dimo, makam Syekh Zaini Assegaf yang semuanya tokoh dari Kota Surabaya.
Beberapa peninggalan kerajaan seperti tombak, dan berbagai senjata peninggalan kerajaan selepas dari kekuasaan Demak sampai zaman perjuangan Indonesia, juga ada di daerah ini. Terdapat sumur tua dan mushala kuno yang menyimpan banyak benda sejarah, seperti tombak, Al Quran bertuliskan tangan, ilmu falaq, hingga waktu shalat zaman dahulu.
Tidak kalah pentingnya, di tempat itu terdapat rumah lahir Soekarno. Masa kecil Soekarno di Jalan Pandean IV Nomor 40 Peneleh. Di dalam Rumah Lahir Bung Karno terdapat arsip-arsip sejarah, potret silsilah keluarga Presiden Soekarno serta audio visual dan film terkait Bung Karno.
Masih di sekitar daerah ini, ada juga bangunan Hollands Indische School (HIS) yang beroperasi dari tahun 1921 hingga 1928, dan sekarang menjadi SDN Alun-alun Contong 1. SDN itu merupakan tempat tinggal bapak dari Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo.
Rumah Lahir Bung Karno juga tidak bisa dipisahkan dengan kediaman salah seorang tokoh pergerakan Indonesia, H.O.S Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII No. 29–31, Peneleh, Genteng, Surabaya.
Sejarah menuliskan, Bung Karno pernah tinggal di rumah indekos milik H.O.S Tjokroaminoto pada awal abad ke-20. Rumah HOS Tjokroaminoto diketahui menjadi tempat indekos beberapa tokoh pergerakan termasuk Soekarno. Soekarno sempat menikah dengan anak sulung HOS Tjokroaminoto yaitu Siti Oetari sebelum kuliah di THS Bandung (kini ITB).
Sejarah Bung Karno selalu melekat di hati Arek-arek Suroboyo . Kawasan sejarah yang berada di Peneleh tersebut ke depannya akan dibuat saling terintegrasi menjadi objek wisata bertema Wisata Kebangsaan.
Kampung Pecinan
Upaya pengembangan pariwisata berbasis sejarah dan budaya lokal terus dilakukan Pemkot Surabaya. Upaya itu di antaranya mereaktivasi dan merevitalisasi Kampung Pecinan di Jalan Kembang Jepun dengan konsep Kya Kya (Jalan-Jalan). Konsep ini menyajikan wisata kuliner di Jalan Kembang Jepun yang dibuka pada malam hari.
Sebenarnya, Kampung Pecinan Surabaya tidak hanya Kembang Jepun melainkan ada kawasan di Jalan Karet, Coklat, Slompretan, Songoyudan, Kalimati Kulon hingga Dukuh. Di jalan-jalan itulah terselip rona budaya Pecinan seperti halnya keberadaan Rumah Abu di Jalan Karet, Kelenteng di Jalan Coklat, Pasar Bong di Jalan Slompretan, Bongpay (seni batu nisan) di Jalan Kalimati Kulon.
Ke arah timur Kembang Jepun, tepatnya di Jalan Dukuh masih ada Kelenteng Hok Tik Hian dengan seni wayang potehinya. Budaya Tionghoa ini tersebar di sekitar Jalan Kembang Jepun.
Oleh karena itu, untuk menghidupkan kawasan Pecinan, tidak boleh lupa dengan semua yang ada di sekitar Jalan Kembang Jepun. Keberadaan mereka perlu disentuh, dilibatkan dalam upaya meramaikan dan menghidupkan Kampung Pecinan sebagai bentuk rona budaya dan atraksi Pecinan Surabaya.
Kya Kya di ruas Jalan Kembang Jepun sebenarnya sudah dibuka pada 31 Mei 2003. Ketika itu, Kya Kya Kembang Jepun sempat menjadi destinasi wisata di Surabaya. Selain tersaji aneka kuliner, Kya Kya Kembang Jepun menjadi ajang pementasan budaya seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo bocah.
Keramaian, keriuhan, dan gemerlapnya Kembang Jepun mampu menyulap kawasan ini yang semula dianggap gelap, sepi dan rawan keamanan, menjadi hidup. Tapi, hal itu berlangsung hanya beberapa tahun, kemudian mati. Kya Kya perlu sentuhan profesional.
Mulai 11 September 2022, Kya Kya Kembang Jepun secara resmi dihidupkan kembali, meskipun namanya diganti Wisata Pecinan Kembang Jepun. Agar tetap hidup dan menghidupi, maka siapa pun harus bergotong royong, inklusif, terbuka terhadap kritik membangun, cakupannya menyeluruh kawasan Pecinan, sehingga konsep Kya Kya adalah milik bersama. Seni dan budaya Tionghoa adalah milik Surabaya, karena sejak dulu sudah terformasi multietnis. Surabaya adalah keberagaman.