"Radikal" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, "secara mendasar atau sampai kepada hal yang prinsip, usaha yang amat keras untuk menuntut perubahan, dan bisa pula berarti maju dalam berpikir atau bertindak". Istilah "radikal" menjadi populer, bahkan kemudian identik dengan faham (isme) dan gerakan politik setelah adanya gerakan-gerakan bersifat revolusioner yang dilakukan sejumlah negara Islam, seperti revolusi Islam Iran, gerakan perlawanan rakyat Palestina, dan perilaku anti-Amerika yang dipertunjukkan Muammar Ghadafi dan mantan Presiden Irak Saddam Hussein. Gerakan yang dilakukan oleh negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam inilah yang kemudian memberikan pandangan bahwa Islam agama yang radikal dan identik dengan kekerasan dalam melakukan perubahan. "Padahal gerakan radikal dalam sejarah perpolitik dunia ini tidak hanya terjadi pada Islam, akan tetapi juga pernah terjadi di sebagian negara yang penduduknya mayoritas non Muslim," kata dosen ilmu politik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan M Ali Al Humaidy. Pengeboman gedung WTC di Amerika yang pelakunya diklaim dari kelompok Al-Qaeda dan Taliban seolah membenarkan bahwa radikalisme hanya ada di Islam. Di Indonesia, gerakan radikal pernah muncul di awal-awal perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Abdul Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh adalah tokoh politik yang masuk dalam rekaman sejarah berupaya melakukan gerakan-gerakan yang bersifat radikal dengan menginginkan terbentuknya Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan yang bersifat radikal yang dilalukan oleh sebagian kelompok yang membawa bendara Islam ini berhasil ditekan, dengan memberlakukan pola "politik akomodatif". Salah satunya dengan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa. "Tapi faktor politik ini bukan hanya satu-satunya penyebab munculnya radikalisme," kata M Ali Al Humaidy yang juga peneliti di Pulau Madura ini. Direktur Institute for Political Studies and Surveys Sulaisi dalam dialog terbatas bertema "Islam dan Radikalisme" yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pamekasan awal September 2011 menyatakan, kesenjangan sosial dan ketidakadilan serta perbuatan sewenang-wenang juga bisa mendorong timbulnya radikalisme. Timbulnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah terjadi di negeri ini, serta lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut dia merupakan salah satu bentuk dari akumulasi persoalan bangsa yang pada akhirnya memilih melakukan gerakan radikal. "Jadi ada banyak hal timbulnya imbrio radikalisme yang terjadi selama ini," katanya. Disamping, sambung mantan Ketua HMI Pamekasan periode 2009-2010 ini, karena adanya pola penafsiran agama yang keliru, terutama dalam menafsirkan kata-kata 'jihad'. Menurut Sulaisi, dalam rekaman sejarah penyebaran agama Islam, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW hingga masa khalifah dan passcakhalifah, perluasan negara yang dipimpin oleh kelompok Islam memang sering diwarnai peperangan. "Oleh sebagian kelompok, perluasan wilayah yang dipimpin oleh kelompok Islam ini lalu dipahami bahwa jihad adalah perang," katanya. Padahal jihad saat ini harus dimaknai lebih luas, bukan perang dalam artian memanggul senjata, akan tetapi perlawanan dalam berbagai bentuk, seperti memerangi kemiskinan dan kebodohan. "Caranya tentu juga harus lebih humanis, bukan dengan kekerasan," kata Sulaisi. Sulaisi menyatakan, radikalisme sebenarnya bukan hanya gerakan protes atas kondisi sosial sebuah bangsa, akan tetapi juga produk pemikiran. Radikalisme juga merupakan wacana tanding atas meluasnya pemikiran liberalisme, pascaperang dingin. Liberalisme masuk ke Indonesia seiring dengan memudarnya kekuatan politik identitas yang menginginkan terbentuknya negara Islam. Di kalangan pemuda dan sebagian kelompok akademisi Indonesia, liberalisme sangat diminati, termasuk kalangan pemuda dari kelompok tradisionalis. Meski mereka menentang secara lisan, akan tetapi arus pemikiran liberal menyusup hingga ke kantong-kantong pesantren. "Liberalisme ini menjadi diminati, karena sepintas memang tidak jauh berbeda dengan pemikiran pluralisme, dan inklusivisme yang juga marak berkembang di Indonesia pada dekade tahun 1960-an dengan gagasan pembaruan yang diusung oleh kelompok modernis," katanya. Kelompok liberal jauh lebih berjaya dibanding kelompok Islam identitas, karena mendapat dukungan dari berbagai pihak dan tidak terlalu mempersoalkan bentuk. "Nah pascareformasi, kelompok Islam identitas mendapatkan kembali angin segar, apalagi setelah dihapusnya aturan yang mengharuskan ormas dan orsospol di Indonesia berasaskan Pancasila yang menurut kelompok ini merupakan bentuk hegemoni bagi mereka," kata Sulaisi. Dukungan negara luar dan diperparah lagi dengan adanya perang Amerika-Irak, menurut Sulaisi, itu seolah membuka wawasan bagi kelompok Islam identitas yang radikal untuk melakukan perlawanan secara terbuka dengan cara apapun. Upaya bersama Ketua Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI) Pamekasan Moh Zahid menyatakan, perlu adanya upaya serius oleh semua pihak untuk mencegah maraknya gerakan radikalisme ini. Dalam konteks pemahaman, dialog antarkelompok perlu ditingkatkan, sedangkan dalam konteks pemerintahkan harus lebih ditekankan pada pemerataan dan sisi keadilan. Moh Zahid yang dosen pada Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, Madura, ini lebih lanjut menyatakan, pelaku radikalisme ada kelompok yang secara politik memang merupakan kelompok kalah. "Dia tidak bisa melakukan perubahan sesuai dengan cita-cita yang diinginkan, lalu melakukan tindakan-tindakan radikal," katanya. Makanya, sambung dia, keadilan dalam kebijakan politik sangat diperlukan guna menekan adanya gerakan-gerakan yang bersifat radikal yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Pada bidang agama, kata dia, radikalisme cendrung timbul karena pemahaman keagamaan cenderung salah, tidak toleran dan memahami pesan agama dari satu sisi. "Jadi apa yang diyakini itu benar, maka itulah yang diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Dan ini tidak hanya terjadi pada agama tertentu saja, akan tetapi juga pernah terjadi pada kelompok agama lain," katanya. Selama, kata Zahid tidak ada gerakan bersama, baik oleh pemerintah sendiri, para tokoh agama ataupun tokoh masyarakat, serta aparat keamanan, maka radikalisme sulit dibendung. "Dialog juga saya kira akan menjadi jalan untuk membuka kebuntuan politik yang selama ini terjadi, sehingga aspirasi kelompok yang merasa termarjinal ini tersalurkan," katanya menjelaskan. (*)
Radikalisme Sulit Dibendung Tanpa Keadilan
Selasa, 11 Oktober 2011 5:17 WIB