Imam Ghazali Said: Haji Cara Rasulullah Lebih Moderat
Jumat, 7 Oktober 2011 10:39 WIB
"Kalau kita menggunakan Sirah Nabawiah (sejarah perjalanan haji Nabi Muhammad SAW), insya-Allah perbedaan pendapat umat dalam agama tidak akan memicu konflik," ucapnya.
Ucapan itu diungkap oleh dosen Fakultas Adab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Dr KH Imam Ghazali Said MA yang menjadi satu-satunya "doktor haji" karena dia menulis disertasi bertajuk "Manasik Haji Rasulullah SAW".
Menurut Imam Ghazali Said yang juga pimpinan kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) "Takhobbar" Ketintang, Surabaya itu, amalan ibadah haji selama ini didekati secara fiqih (hukum agama) dan hadits.
"Pendekatan fiqih selalu membedakan amalan ibadah haji dalam tiga kategori yakni rukun, wajib, atau sunnah. Para fuqaha (ahli fiqih) mengukur afdaliah (keutamaan) ibadah haji dari tiga kategori itu secara berurutan," papar peraih predikat 'Sangat Memuaskan' itu.
Sementara itu, pendekatan hadits yang dilakukan sebagian kecil calon haji, seperti KBIH al-Muna dan KBIH Muhammadiyah di Surabaya, mengukur afdaliah ibadah haji mirip "Sirah Nabawiah", tapi pendekatan lain dilihat sebagai penyimpangan.
"Lain halnya dengan pendekatan Sirah Nabawiah. Pendekatan alternatif itu menilai amalan ibadah haji melalui skala prioritas tiga sunnah yakni sunnah fi'liyah (perbuatan/tindakan), qawliyah (perkataan/ucapan), dan taqririyah (perbuatan sahabat yang tidak disikapi nabi/boleh)," tandas alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (S1) itu.
Bedanya, amalan ibadah haji yang dilakukan pendekatan Sirah Nabawiah dan pendekatan hadits dengan pendekatan fiqih adalah amalan tarwiyah, shalat maghrib dan isya' secara ta'khir di muzdalifah, serta wukuf di Masy'arilharam.
"Kami dan mereka yang menggunakan pendekatan hadits selalu berusaha melakukan amalan itu, karena amalan-amalan itu dilakukan Nabi. Yang membedakan, mereka yang menggunakan pendekatan hadits selalu memandang orang lain salah, karena melakukan 'bid'ah," tukasnya.
Oleh karena itu, kata alumni Khartoum International Institute Sudan (S2) itu, "sirah Nabawiah" hendaknya dijadikan landasan hukum, lalu baru menggunakan fiqih (hukum agama), karena hal itu akan membuat orang menjadi tahu perilaku Nabi yang bisa berbeda-beda dan semuanya tidak disalahkan Nabi.
"Kalau langsung menggunakan fiqih, maka orang akan mudah berbeda pendapat dan saling mempertahankan pendapatnya hingga terjadi konflik, tapi kalau menggunakan Sirah nabawiah akan menjadi tahu bahwa Nabi menjalani agama dengan serangkaian tahapan," katanya.
Misalnya, Sayid Sabiq yang mengharamkan qunut dalam Shalat Subuh dengan menggunakan hadits tertentu, sedangkan mereka yang menggunakan qunut memakai hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik.
"Padahal, nabi membaca qunut saat ada Anas bin Malik menjadi makmum, lalu ketika Anas bin Malik tidak menjadi makmum, nabi ternyata tidak membaca qunut. Artinya, nabi melakukan keduanya dan keduanya sama-sama absah, sehingga kita tidak perlu bertengkar," kilahnya.
Hal itu juga terjadi dalam haji. "Bahkan, kalau ibadah haji justru lebih mudah, karena nabi beribadah haji hanya sekali dalam hidupnya," ujarnya. (*)