Jakarta (ANTARA) - Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menyatakan rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi pelambatan ekonomi dan krisis utang properti di China.
“Pelambatan ekonomi dan krisis utang properti di China bisa jadi memicu sentimen negatif pasar terhadap aset berisiko hari ini,” ujar Ariston ketika dihubungi, di Jakarta, Selasa.
Data Purchasing Managers' Index sektor jasa China pada Agustus 2023 yang dirilis pagi ini menunjukkan penurunan pertumbuhan menjadi 51,8 dengan ekspektasi 53,6.
Selain itu, pelemahan rupiah turut dipengaruhi pertimbangan pasar mengenai kemungkinan suku bunga acuan AS dipertahankan di level tinggi, karena inflasi AS masih belum mencapai target.
Baca juga: Selasa pagi ini rupiah turun jadi Rp15.260 per dolar AS
Serangkaian data ekonomi yang menyoroti moderasi inflasi serta pelonggaran pasar tenaga kerja menambah kesan bahwa perekonomian AS sedang mendingin tanpa melambat secara tajam. Hal ini memperkuat harapan perekonomian AS akan memasuki kondisi soft landing (pertumbuhan yang lambat dengan hanya sedikit peningkatan pengangguran).
Menurut CME FedWatch Tool, pasar memperkirakan 93 persen kemungkinan The Fed akan mempertahankan suku bunga pada September 2023, dan lebih dari 60 persen kemungkinan takkan menaikkan suku bunga lagi pada tahun ini.
“Rupiah masih berpotensi melemah terhadap dolar AS hari ini. Sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat negatif pagi ini dengan penurunan indeks saham Asia dan pelemahan nilai tukar regional terhadap dolar AS di pembukaan pagi ini,” ujar Ariston.
Dia memperkirakan potensi pelemahan rupiah ke arah Rp15.280-Rp15.300 per dolar AS dengan potensi support di sekitar Rp15.230 per dolar AS.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi melemah 0,13 persen atau 20 poin menjadi Rp15.260 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.240 per dolar AS.
Rupiah Selasa ini menurun karena pelambatan ekonomi China
Selasa, 5 September 2023 9:40 WIB