Oleh Asmaul Chusna (Nganjuk) - Masalah kekeringan menjadi topik utama saat memasuki kemarau yang berujung pada sulitnya untuk mendapatkan serta mencari air, baik untuk konsumsi maupun irigasi. Seperti yang terjadi di Desa Jatirejo, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk. Tiap tahun, memasuki kemarau, warga terpaksa harus naik dan turun gunung, demi mencari air. Yadi, salah seorang perangkat desa setempat, mengatakan warga harus berjalan naik dan turun gunung hingga 2 kilometer setiap hari. Sumber mata air yang ada juga semakin sedikit dan sebagian lagi sudah tidak mengeluarkan air, hingga warga terpaksa berjalan jauh. Kondisi di Desa Jatirejo, Kecamatan Ngetos, tersebut secara geografis memang dominan berbatu, hingga air juga sulit untuk didapat. Daerah itu terletak di kaki Gunung Wilis (2552 mdpl). Namun, saat kemarau, sekitar Juni-Oktober, air akan sangat sulit didapat, hingga warga terpaksa berjalan jauh untuk mencarinya. Di desa itu, ada 367 kepala keluarga (KK) yang tinggal. Sebenarnya, ada sejumlah bak penampung air, tetapi saat ini lebih banyak kosong, karena debit juga semakin kecil. Hal serupa juga terjadi di sebagian Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk. Untuk di daerah yang di dataran tinggi, warga juga sudah semakin sulit untuk mencari air. Seperti yang diungkapkan oleh Ponijah (67), warga Dusun Dampit, Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk. Ia harus turun di jurang dengan kedalaman hingga 1 kilometer untuk mengambil air. "Air sudah sulit dicari, jadi harus ambil di bawah, ada sekitar 1 kilometer jaraknya. Kalau ambilnya setiap hari, karena air yang dikirim ke rumah kosong," ucapnya, lirih. Ia sebenarnya tidak sanggup ketika harus mengambil air ke bawah. Usianya yang sudah tidak muda lagi, membuatnya tidak kuat untuk menuruni bukit. Ia juga terpaksa meminta bantuan orang untuk mengambilkan air, dengan diberi upah Rp5.000 untuk tiga ember. Untuk membayar upah orang yang dimintai tolong, ia pun terpaksa menjual berbagai macam barang maupun ternaknya. Saat kemarau seperti ini, ia pun terpaksa ekstra berhemat, karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan. "Kalau kemarau seperti ini sulit cari pekerjaan. Ladang juga tidak bisa ditanami, jadi tidak ada uang. Orang tua seperti kami, tidak bisa berbuat banyak, jadi kalau butuh uang, terpaksa jual yang ada," ujarnya. Tidak jauh berbeda dengan Ponijah, Pairah (70), warga lainnya mengatakan saat kemarau, ia tidak begitu banyak melakukan aktivitas, selain mencari kayu bakar di ladang. Namun, ia masih beruntung, karena mendapatkan tunjangan. Suaminya adalah seorang veteran yang sudah meninggal, hingga ia tiap bulan mendapatkan uang tunjangan Rp700 ribu. Uang itu, kata dia, memang tidak seberapa. Selain untuk keperluan sehari-hari, ia juga harus mengurus ladang yang luasnya tidak seberapa. Pada kemarau saat ini, harusnya ia bisa agak lega, dengan hasil tanaman yang ditanamnya. Tetapi, tanaman jagung yang ditanamnya rusak, terkena hama putih, hingga terpaksa dibabat. "Kemarin tidak panen, jagungnya kena hama putih. Jadi, kalau mau makan dan ada uang, beli beras, tapi kalau tidak ada, cari makan seadanya, singkong, misalnya," tuturnya. Pemerintah Kabupaten Nganjuk memang sudah memetakan sejumlah daerah yang dilanda kekeringan tiap kali musim kemarau. Sedikitnya, ada 19 desa di lima kecamatan yang selalu kesulitan air. Sejumlah 19 desa itu antara lain di Kecamatan Ngetos, di antaranya Desa Ngetos, Mojoduwur, Suru, Klodan, Blongko, dan Kepel. Kecamatan Pace ada empat desa, yaitu Joho, Jatigreges, Gondang, dan Jampes. Di Kecamatan Ngluyu ada dua desa yaitu Tempuran dan Lengkonglor, Kecamatan Jatikalen ada lima desa, yaitu Pule, Pulowetan, Dawuhan, Perning, dan Gondangwetan. Untuk di Kecamatan Nglengkong ada dua desa yang mengalami krisis air bersih, yaitu di Desa Ketandan dan Bangle. "Tiap kali kemarau tiba, daerah-daerah itu memang kesulitan air bersih. Sumber mata air yang biasanya keluar, juga surut," kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Nganjuk, Gunawan Widagdo. Pihaknya sebenarnya sudah berupaya untuk meminilisasi kesulitan warga yang menjadi agenda rutin tiap tahun itu, dengan membangun sistem pengolahan air bersih sederhana (Sipas). Sistem itu ada yang menggunakan tenaga surya ataupun listrik. Dengan itu, air bisa ditampung, hingga bisa untuk keperluan sehari-hari warga, terutama yang tinggal di daerah kekurangan air. Namun, untuk jumlahnya, ia menyebut sampai saat ini masih minim. Belum semua desa, terutama yang kesulitan air ada fasilitas ini. Untuk Kecamatan Pace, misalnya, dari empat desa, yaitu Joho, Jatigreges, Gondang, dan Jampes, hanya ada tiga Sipas, salah satunya di Desa Joho. Selain ada program Sipas, kata Gunawan, ada juga warga yang memanfaatkan kincir angin untuk memompa air tanah. Namun, jumlah kincir itu juga terbatas, tidak seluruh desa ada, karena hanya bantuan. Kincir itu terletak di Dusun Baran, Desa Joho, Kecamatan Pace, yang merupakan bantuan dari Australia. "Sebenarnya juga ada program lain, seperti 'Water Sanitation for Low Income Communities' (WSLIC), tapi, karena air di sumber debitnya juga sudah turun, air juga tidak bisa mengalir," paparnya. Untuk alternatif cepat, lanjut dia, pihaknya sudah koordinasi dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Nganjuk untuk mengirimkan air ke daerah-daerah yang minim air bersih. Bagian Hubungan Masyarakat PDAM Kabupaten Nganjuk, Sugeng Waluyo, mengatakan sudah menyiapkan seluruh armadanya untuk mengirimkan air di sejumlah daerah yang kesulitan air bersih. "Seluruh armada kami ada tiga, dan semuanya kami gunakan untuk mengirimkan air. Jumlah itu mencukupi, untuk melayani seluruh warga di daerah yang kesulitan air, sesuai dengan permintaan pemerintah," kata Sugeng. Ia juga mengatakan, saat ini permintaan untuk mengedrop air sudah mulai ada peningkatan. Dalam sehari, pihaknya bisa mengirimkan delapan kiriman di beberapa daerah, lebih tinggi daripada pada bulan-bulan selain kemarau yang hanya dua kali. Dipicu Lahan Gundul Banyaknya jumlah daerah yang dilanda kekeringan, terutama di areal gunung dipicu karena semakin luasnya lahan hutan yang gundul. Hal itu membuat debit air di sejumlah sumber mata air di wilayah Kabupaten Nganjuk semakin surut. Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Nganjuk, Gunawan Widagdo, selain karena letak geografis, banyaknya lahan di areal gunung yang kosong juga memicu semakin turunnya sumber mata air. Saat ini, jumlah sumber yang ada masih 132 sumber saja yang masih hidup, lebih kecil dari sepuluh tahun lalu. "Kalau pohon banyak, tentunya bisa menyerap air," tukasnya. Namun, lahan gundul sebagai pemicu kekeringan permanen di sejumlah daerah di Kabupaten Nganjuk dibantah pihak Perhutani. Mereka menilai, kondisi di sejumlah daerah yang saat ini mengalami kekeringan, memang sulit untuk ditanami. "Tanahnya padas dan banyak kerikil, hingga tanaman sulit untuk tumbuh," kata Administratur Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Nganjuk, Slamet Dwinarto. Ia juga mengatakan, di seluruh wilayah Perhutani Nganjuk, tidak ada lahan yang sama sekali kosong. Hanya saja, memang ada sejumlah lahan yang saat ini belum ada pohonnya, dan itu menyebar. "Ada 400 hektare lahan yang masih belum ditanami, tapi itu menyebar di seluruh daerah Perhutani Nganjuk. Kami sudah siapkan bibit jati untuk disemai dan nanti sekitar Desember akan ditanam," ujarnya. Ia menyebut, luas lahan yang kosong, 400 hektare itu adalah jumlah yang kecil dibanding dengan total lahan milik Perhutani Nganjuk yang mencapai 21.000 hektare. Pihaknya berharap, dengan persemaian ini, seluruh lahan yang belum ditanami bibit, bisa terisi semua dengan pohon jati. Sementara itu, Wakil Bupati Nganjuk, Abdul Wachid Badrus, mengatakan pemerintah saat ini sedang berupaya untuk membuat tempat penampungan air, seperti waduk, bendungan, maupun embung, hingga bisa dimanfaatkan, terutama saat kemarau tiba. "Kami sedang komunikasikan dan mengupayakan untuk pemembuatan bendungan maupun embung di sejumlah daerah. Kami ingin, agar air bisa ditimbun, hingga bisa dimanfaatkan ketika sulit didapat," katanya. Ia menyebut, sudah melakukan pendataan daerah-daerah rawan kekeringan di Nganjuk. Untuk daerah selatan, selama ini dikenal cukup bagus, karena memang dekat dengan lokasi hutan, sementara yang utara kurang. Pemerintah daerah memang saat ini sudah melakukan pendataan untuk lokasi pembangunan embung, sebagai tempat penampungan air. Untuk wilayah utara, rencananya lokasi yang dibangun embung di antaranya di Kecamatan Rejoso, Gondang, Lengkong, serta Ngluyu. Pemerintah juga sudah melakukan "feasibility study" atau FS. Untuk lokasi lainnya, adalah Desa Gedang Klutuk, Kecamatan Sawahan, serta Desa Joho, Kecamatan Pace. Di lokasi tersebut juga sudah dilakukan FS, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut. Walaupun sudah berencana membangun tempat penampungan air, seperti embung, Wabup mengatakan masih terkendala dengan anggaran. Padahal, pembangunan itu diharapkan bisa mengurangi masalah sosial, terutama kekeringan, yang rutin tiap tahun terjadi di daerah-daerah tersebut. Pihaknya berencana akan mengajukan kepada pemerintah pusat bantuan anggaran untuk pembangunan tempat penampungan air itu, hingga bisa dimanfaatkan.
Berita Terkait

Waduk Kedungsengon Nganjuk Mengering
18 September 2018 20:33

Kekeringan Nganjuk
4 September 2015 08:54

Parliament partners with ANTARA to broaden outreach
24 Juli 2025 22:00

DPR gandeng ANTARA perkuat kolaborasi publikasi
24 Juli 2025 15:03

Wamen BUMN nilai program pemerintah perlu dibumikan lewat ANTARA
24 Juli 2025 14:52

Rupiah hari ini naik seiring kesepakatan tarif antara AS dengan Jepang
23 Juli 2025 10:01

Daop 7 Madiun dan Kejari Kediri kolaborasi optimalkan penjagaan aset
22 Juli 2025 20:58

Toyota Indonesia nilai generasi muda penggerak kepedulian lingkungan
15 Juli 2025 15:05