Bondowoso (ANTARA) - Senin, 17 Juli 2023, adalah hari pertama anak-anak masuk ke sekolah, setelah mereka menikmati libur panjang kenaikan kelas.
Bagi anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, kini mereka menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar parawansa pada apel pembukaan MPLS tingkat SMA/SMK/SLB, bertempat di SMK Negeri 5 Surabaya, Senin (17/7), mengingatkan agar masa pengenalan bagi siswa baru itu tidak diwarnai dengan kekerasan, apalagi mengarah ke sikap perundungan.
Peringatan yang disampaikan oleh Khofifah itu sebetulnya bukan hal baru, karena sudah selayaknya anak-anak berstatus pelajar itu menikmati hari-hari dengan penuh riang. Suasana riang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh lingkungan, termasuk sekolah dan keluarga.
Sekolah, sejatinya bukan sekadar tempat mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada anak didiknya. Lebih dari sekadar mendapatkan ilmu pengetahuan, sekolah adalah tempat anak untuk menyemai karakter atau sifat, belajar bersosialisasi, termasuk sikap santun dan menghormati pihak lain.
Jika sekolah dengan figur otoritas yang ada pada guru tidak menampilkan sikap penghormatan pada pihak lain, itu sama artinya dengan sekolah memupuk sikap atau karakter semena-mena pada siswa. Sama dengan menanamkan sifat mementingkan diri sendiri dan acuh pada perasaan dan keadaan orang lain.
Selain guru, pada masa-masa pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru itu ada siswa senior. Kalau di dunia kampus, di masa lalu ada tradisi perpeloncoan pada mahasiswa baru, kini tradisi itu sudah dievaluasi. Pemerintah hadir lewat kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud -Ristek). Perpeloncoan dilarang dilakukan oleh mahasiswa senior kepada yunior, termasuk di lingkungan sekolah.
Ketika lembaga pendidikan tidak mengindahkan apa yang menjadi komitmen pemerintah itu, ekses-ekses negatif muncul, seperti yang dialami oleh santri baru di lingkungan pondok pesantren besar di Jawa Timur, setahun lalu. Seorang santri asal Sumatera meninggal setelah mendapatkan tindakan kekerasan dari seniornya.
Kasus di pesantren terkenal itu menjadi pelajaran besar tentang bagaimana tindakan kekerasan yang diterima oleh siswa atau santri baru dari seniornya bisa "beranak pinak" dan menjadi tradisi tidak baik dalam ikhtiar bersama untuk memenuhi hak-hak dasar anak, yakni keamanan, rasa tenang, dan hidup bahagia.
Kekerasan, baik atas nama penanaman disiplin atau perilaku, sudah bukan zamannya lagi diterapkan. Metode lawas itu tidak efektif dalam konteks pendidikan secara utuh. Sikap pemaksaan itu justru menimbulkan luka batin atau trauma yang kemudian mengganggu proses anak menjalani fase tugas perkembangan jiwa.
Baca juga: MPLS, Dispendik Kediri tak izinkan kekerasan hingga perundungan
Berbicara mengenai fase tugas perkembangan jiwa, seorang anak yang mengalami tekanan, dalam fase berikutnya akan mengalami berbagai hambatan untuk mengembangkan potensinya.
Anak yang dalam menjalani tugas perkembangan itu mengalami kekerasan, selain menghambat diri untuk mengaktualisasikan potensinya, juga bisa berdampak pada anak lainnya. Sangat mungkin anak yang mengalami kekerasan dari pihak lain itu di waktu lain bertransformasi menjadi pelaku, karena ada rasa dendam dalam alam bawah sadar si anak.
Pola pengasuhan yang demikian juga sangat penting diperhatikan oleh orang tua yang sedang mendampingi anak-anaknya bertumbuh. Orang tua bukan sekadar memenuhi kebutuhan anak terkait tumbuh fisiknya. Lebih dari itu, tumbuh kembang jiwanya juga harus mendapatkan porsi perhatian besar dari orang tua.
Dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini, di satu sisi banyak orang tua yang sadar memanfaatkan teknologi untuk terus memperbarui pengetahuan, termasuk dalam mendidik anak di rumah.
Saat bersamaan, ada juga orang tua yang tidak melek dengan perkembangan ini, termasuk pembaruan pola pendidikan bagi anak di keluarga. Orang tua yang seperti ini biasanya mempertahankan pola pendidikan lama yang sifatnya hanya berupa instruksi. Pola pendidikan keluarga yang seperti ini membuat anak tidak nyaman dengan suasana di rumah dan komunikasi dengan orang tuanya terhambat.
Sekolah yang keberadaannya memang memangku tanggung jawab untuk mendidik anak-anak, dituntut untuk lebih di depan dalam beradaptasi dengan pola pendidikan terkini. Kesadaran bahwa sekolah adalah tempat yang nyaman bagi anak, harus sudah menjadi komitmen bersama insan sekolah, mulai dari guru, tenaga non-guru, dan siswa lainnya untuk menjadikan lembaga pendidikan itu sebagai tempat jiwa bertumbuh dengan riang.
Sekolah harus menjadi tempat anak-anak menemukan jati diri dan potensi diri yang tidak terfasilitasi di dalam keluarga. Bagi anak beruntung yang hidup dalam pengasuhan aman dan nyaman, sekolah harus menjadi tempat generasi muda itu semakin menguatkan pengembangan potensi diri, baik untuk mereka yang setelah lulus akan bekerja maupun mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Komitmen insan sekolah untuk memberikan sikap terbaik bagi peserta didik ini akan memberi dampak jangka panjang, apalagi anak-anak yang kini duduk di bangku SMA atau SMK itu, kelak akan memainkan pada era Indonesia Emas Tahun 2045.
Jika anak-anak pelajar saat ini tumbuh dengan jiwa santun , bangsa ini akan "memetik" buahnya kelak ketika mereka telah mengambil peran orang tua saat ini, baik di pemerintahan maupun swasta. Mereka mungkin kelak ada yang menjadi polisi, dokter, bupati, gubernur, atau bahkan presiden, dengan watak yang santun dan memiliki jiwa sosial tinggi untuk peduli pada masyarakat yang lain.
Ikhtiar para pendidik dalam membersamai tumbuh kembang anak ini adalah bagian dari pengejawantahan Revolusi Mental yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
MPLS Menyenangkan, sekolah menyenangkan
Selasa, 18 Juli 2023 10:21 WIB