Jakarta (ANTARA) - Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro mengimbau masyarakat yang ingin melakukan pengangkatan anak atau adopsi dapat menempuh jalur yang resmi.
"Kami menekankan dan mengimbau masyarakat, jika ingin mengadopsi atau ingin anaknya diadopsi oleh keluarga yang lain agar mengikuti prosedur pengangkatan anak," ujar Djuhandhani saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa.
Ia mengungkapkan bahwa prosedur pengangkatan anak telah memiliki dasar peraturan, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Menurut Djuhandhani, aturan ini membuat hak-hak anak terkait asal-usul anak dan kehidupan anak selanjutnya dapat dipenuhi dan dipertanggungjawabkan. Prosedur resmi dilakukan demi menghindari terjadinya tindak pidana penjualan orang (TPPO) dengan modus adopsi anak.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat 147 korban perdagangan anak dan eksploitasi anak sepanjang 2021. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 149 anak pada 2020.
Lalu, KPAI telah menerima 1.358 pengaduan perlindungan terhadap anak sepanjang periode Januari-Juni 2022. Dari jumlah tersebut terdapat 1.444 kasus dengan rincian, 981 kasus adalah sub komisi pemenuhan hak anak dan 463 kasus merupakan sub komisi perlindungan khusus anak.
Hal ini menyusul temuan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri yang berhasil menyelamatkan dua bayi dari perdagangan bayi ilegal setelah melakukan penggeledahan sebuah apartemen di Bekasi yang diduga sebagai tempat penampungan sebelum dijual ke calon pembeli.
"Kami berhasil menyelamatkan dua orang bayi laki-laki yang berumur sekitar 2 minggu (Anak A) dan 1 bulan (Anak B)," tambah Djuhandani.
Lebih lanjut, Djuhandhani menjelaskan penyelamatan kedua bayi itu memang direncanakan untuk diadopsi. Meski begitu, dia masih belum mengetahui apakah bayi adopsi tersebut diperuntukkan di dalam negeri saja atau akan dijual ke luar negeri.
Adapun empat tersangka telah ditangkap karena memperjualbelikan bayi adalah, SA, E, DM dan Y. Djuhandani menjelaskan kasus ini diawali dengan adanya laporan ke Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) mengenai dugaan tindak pidana penculikan anak berinisial A sebagaimana LP Nomor:LP/B/120/VI/2023/SPKT/
Setelah melakukan penyelidikan terkait laporan itu, anak A tersebut bukan menjadi korban penculikan melainkan diserahkan oleh ibunya sendiri, SS ke seorang perempuan inisial F.
"Yang kemudian anak A dibawa ke Jakarta," ungkap dia.
Polda Sulteng langsung menerbitkan LP model A tentang dugaan perdagangan anak. Selanjutnya, jajaran Polda Sulteng berkoordinasi dengan Polres Metro Bekasi Kota untuk dilanjutkan dengan penggeledahan di sebuah apartemen yang diduga menjadi tempat penampungan bayi sebelum di jual ke calon pembeli.
Usai menangkap tersangka Y, polisi melakukan pengembangan dengan menangkap tiga tersangka lainnya. Kemudian, dia merincikan peran dari keempat tersangka tersebut.
DM (25) berperan sebagai pemasok atau pencari bayi dibantu L. Lalu, SA (50) berperan sebagai pemasok dan pencari.
E (54) berperan sebagai pencari bayi yang dipesan oleh SA. Selanjutnya, Y (35) berperan sebagai penampung dan penyalur bayi.
"Dari hasil penyidikan diketahui tersangka Y sejak akhir tahun 2022 telah memperdagangkan bayi sebanyak 16 bayi dengan rincian bayi laki-laki lima dan perempuan 11 orang," jelas Djuhandhani.
Para pelaku, tambah Djuhandhani menjual bayi ke pembelinya dengan harga kisaran Rp13 juta hingga Rp15 juta untuk bayi laki-laki. Sementara, bayi perempuan dijual dengan kisaran harga Rp15 juta hingga Rp23 juta.
"Para tersangka mendapat keuntungan sekitar Rp500 ribu sampai dengan Rp2 juta," ucapnya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp120 juta paling banyak Rp600 juta.
Para tersangka juga dijerat Pasal 83 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp60 juta dan paling banyak Rp300 juta.