Surabaya (ANTARA) - Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia menggelar diskusi guna mereduksi stigma masyarakat terhadap eks narapidana terorisme (napiter) bertajuk "Desain dan Strategi Pendampingan Masyarakat Korban Paham Terorisme Berbasis Keadilan" di Kantor Kecamatan Tambaksari Surabaya, Kamis.
Kasubdit Sosialisasi Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Anti Teror Polri Komisaris Besar Polisi Kurnia Wijaya tak memungkiri stigma terhadap eks narapidana terorisme atau napiter masih muncul, bahkan hingga berdampak pada kehidupan sosial keluarga mereka.
"Mereka perlu dibantu, misalnya ada anaknya yang daftar sekolah tetapi tidak bisa karena bapaknya dicap eks napi teroris," kata Kurnia Wijaya di sela kegiatan.
Pandangan tersebut yang coba dikikis oleh Densus 88 Anti Teror, sebab para eks napiter sudah menyatakan ikrar setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kami ingin merangkul bahwa mereka yang eks napiter itu adalah saudara kami, dia kemarin itu sebagai korban paham terorisme," ujarnya.
Kurnia menyebut pola seperti itu memang sudah diterapkan di Densus 88, bahkan ketika baru ditangkap hingga menjalani vonis hukuman.
"Dia ditangkap, diproses hukum, kemudian menjalani hukuman, ada yang tiga tahun, lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, tetapi dia berhasil merubah diri," ucapnya.
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya juga mengatakan ketika para napiter bebas dan berstatus "hijau", Densus juga berupaya menggandeng stakeholder terkait, seperti pemerintah dan TNI untuk bersama-sama melaksanakan pemberdayaan secara ekonomi.
"Jadi, mudah-mudahan dia tidak dikucilkan. Dia saudara kami," katanya.
Di sisi lain, dia juga mendorong pihak Kampus, salah satunya Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya untuk membantu berjalannya sistem pendampingan.
"Kami mendampingi mereka agar nanti betul-betul hidup dalam kesejahteraan, sehingga tidak kembali ke kelompok-kelompok yang dulu," katanya.