Oleh Illa Kartila Depok - Ada acara unik di halaman Gereja GMIM Sentrum Manado, sore hari 17 Agustus 2011, ketika warga Muslim menggelar acara buka puasa diiringi lagu-lagu rohani Kristen. Bagi sebagian orang, mungkin acara ini tidak biasa. Tapi bagi warga di Manado Sulawesi Utara, simbolisasi kerukunan umat beragama telah berlangsung sejak lama. Tokoh agama dan masyarakat di Manado, sudah terbiasa saling tolong-menolong tanpa memandang latar belakang agama yang bersangkutan, dalam setiap segi kehidupan. Warga tampak terharu dan bersukacita, ketika beberapa menit menjelang waktu berbuka puasa, Pendeta Roy Lengkong dan Ustad Rahman Muhammad dari Masjid Achmad Yani Manado bersama hadirin lainnya melepaskan lima ekor burung merpati. Bagi banyak orang merpati merupakan simbol kedamaian umat manusia dunia. Tradisi yang baik ini agaknya patut dicontoh oleh semua kalangan di masyarakat termasuk para elit politik, tokoh partai, pejabat sebagai salah satu model rekonsiliasi menuju kehidupan yang rukun dan damai di tengah perbedaan-perbedaan yang ada, dalam seluruh aspek kehidupan. Tentang hidup rukun dan damai di tengah perbedaan, seorang rohaniwan muda, Romo Agus Pr mengajak masyarakat untuk saling meneguhkan kebhinekaan di antara sesama anak bangsa. "Perbedaan sebagai suatu kenisacayaan menambah keindahan hidup ini. Sebagai wong Jawa, Ibarat simponi musik gamelan, masing-masing instrumen saling bersinergi menyajikan satu harmoni," kata Dosen Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma ini. Menurut dia, ada ajaran universal yang menyatukan semua manusia, seperti cinta kasih. "Entah itu terhadap Tuhan maupun sesama. Apapun agama, suku, bahasa, dan latar belakang kita memiliki misi yang sama, yakni kebersamaan dan kerukunan," katanya. Ia menganalogikannya ibarat ruji sepeda, semakin dekat dengan as atau pusat, semakin kita dekat dengan sesama yang lainnya. Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk menyucikan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan, hidup rukun dan damai dalam keberagaman. Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj menyatakan di tengah merosotnya mental dan moral bangsa, ibadah puasa Ramadhan hendaknya dijadikan momentum untuk membangun kembali optimisme kehidupan berbangsa dan bernegara. "Apalagi, dalam Ramadhan kali ini, Bangsa Indonesia juga memperingati 66 tahun kemerdekaan," katanya seraya menambahkan bahwa puasa itu menyehatkan badan dan pikiran, yang jauh ke depan akan bisa melahirkan optimisme umat untuk bersama-sama ikut berperan aktif dalam pembangunan bangsa. "Optimisme pula yang dulu mendorong Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yang juga bertepatan bulan Ramadhan 1945 M. Optimisme itu warisan kerohanian yang harus diteladani," ujarnya. Dia juga mengimbau para elit yang belakangan terlibat perselisihan agar bisa saling bermaafan, melupakan semua kesalahan dan kembali bersama-sama membangun bangsa. "Intinya semua harus bisa memaknai Idul Fitri dengan semangat saling memaafkan," katanya. Jika dianggap perlu, kata tokoh agama ini, sebaiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segan mendatangi sesama elit politik, termasuk yang selama ini dianggap berseteru dan berseberangan pandangan dengannya, untuk saling memaafkan dan melupakan perselisihan yang selama ini terjadi. Demikian juga, apabila Presiden bertindak sebagai tuan rumah diharapkan menghargai siapapun yang datang. "Dalam silaturahmi, presiden tetap wajib menghormati tamunya, apapun latar belakang tamu tersebut," katanya. Saling memaafkan Menurut Said, Idul Fitri adalah kesempatan untuk bersenang-senang, dalam arti sewajarnya, tidak berlebihan. "Itu boleh karena kita patut bangga berhasil menahan hawa nafsu selama sebulan. Tapi hal penting yang tidak boleh ditinggalkan adalah silaturahim, saling bermaafan," katanya. Momentum Idul Fitri, ujarnya, hendaknya juga dijadikan cerminan bahwa rekonsiliasi antar komponen bangsa ini bisa dimulai dengan saling memaafkan. Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya juga mengingatkan tentang perlunya menjaga kerukunan dan keharmonisan di tengah kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Menurut dia, walaupun tantangan dan ancaman terhadap pluralisme, toleransi, dan harmoni sosial ada di sekitar kita, kita tidak boleh bergeser dari keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu hidup dalam kemajemukan. Keyakinan inilah yang harus dibela tanpa keraguan. "Di atas semua itu, kita adalah bangsa yang dengan bangga memiliki Pancasila sebagai sumber inspirasi dan kekuatan, bagi terbentuknya identitas bangsa Indonesia yang kekal dan abadi," katanya. Kepala Negara meyakini, inilah saatnya untuk mempersatukan semua yang dimiliki, demi sebuah negeri yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Inilah saatnya pula untuk berubah; dari yang berpikir negatif menjadi lebih positif, dari yang pesimistis menjadi lebih optimistis, dan dari yang gamang menjadi lebih percaya diri. Muchlis Hasyim, seorang pengamat media berpendapat, tidak bisa tidak harus digelar rekonsiliasi nasional untuk menghapuskan beban politik dan psikologis yang ada di negara ini sesegera mungkin. "Baru setelah itu kita dapat melangkahkan kaki menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar demi menyelamatkan masa depan Indonesia," katanya. Oleh karena Presiden SBY adalah incumbent, katanya, maka sudah pada tempatnya bila ia yang pertama kali menjadikan ini sebagai wacana. Ajaklah senior-seniornya, dan para pendukung mereka, untuk duduk satu meja. Juga libatkan semua tokoh bangsa, agamawan dan ilmuwan, serta pemuka-pemuka masyarakat lainnya. Langkah ini menurut dia adalah demi Indonesia dan keberlangsungan bangsa serta tidak ada salahnya bila pers juga ikut mendorong dan mendukung gagasan rekonsiliasi nasional itu. "Gugah kesadaran semua tokoh nasional dan lokal untuk terlibat aktif dalam rekonsiliasi ini. Ingatkan mereka bahwa sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia," katanya. Seperti kata Muchlis, siapapun di antara mereka yang menolak, itulah musuh Indonesia. Siapapun di antara mereka yang tidak mau rekonsiliasi berarti hanya cinta dan bangga pada kelompoknya saja. Mereka yang tidak mendukung adalah bagian dari masa lalu yang mau menang sendiri dan ?menikmati? perpecahan bangsa ini. Rekonsiliasi berarti saling memaafkan. Jika para petinggi negeri ini, yang bisa saja di masa lalu saling berbeda pandangan dan karenanya sempat berselisih, sudah bersedia saling bersilaturahmi lagi, maka langkah ini diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat untuk hidup dengan lebih rukun dan damai.
Hidup Rukun dan Damai di tengah Perbedaan
Sabtu, 27 Agustus 2011 11:41 WIB