Surabaya (ANTARA) - Pengamat politik sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam menilai jaring aspirasi masyarakat (jasmas) laksana charity yang membuat anggota DPR/DPRD tidak kreatif serta mudah terjerumus pada penyalahgunaan uang rakyat.
"Anggota dewan seolah menjadi sinterklas yang datang menyantuni warga dengan dana negara," kata Surokim di Surabaya, Senin.
Jika anggota dewan cermat, lanjut dia, penggunaan dana ini sering menjadi alat kuncian eksekutif atau pemerintah. Tentunya, hal itu bisa menyandera daya kritis para anggota dewan baik di DPR RI, DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
Menurut Surokim, sebenarnya ini adalah jalan pintas dan akan mudah menjebak anggota dewan melakukan Korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN) dengan eksekutif.
Sepanjang pengelolaannya tidak adil, kata dia, akses yang tidak sama dan sistem pengelolaannya masih tertutup dan tidak transparan, serta tidak menjangkau pengawasan publik luas maka jasmas akan selalu menjadi zona gelap dan potensial terjadi penyalahgunaan.
"Semestinya, hal itu yang harus didahulukan agar dana-dana seperti itu bisa menjadi penguat peran dewan dan bukan justru menjadi alat sandera anggota dewan," kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) itu.
Jasmas merupakan program pemerintah untuk masyarakat ketika aspirasi masyarakat tidak dapat dipenuhi atau diwujudkan oleh eksekutif.
Dana jasmas merupakan pendekatan bottom-up yang mengartikan program badan legislatif daerah atau DPRD untuk menampung aspirasi masyarakat yang termasuk ke dalam dana hibah.