Bogor (ANTARA) - Operasi militer khusus Rusia ke Ukraina genap setahun Jumat ini (24/2). Setelah 365 hari invasi ke negeri jirannya itu, belum terlihat tanda-tanda Kremlin menyurutkan operasi ofensif pasukannya.
Invasi Rusia ke negara serumpun yang pernah menjadi bagian penting Uni Soviet selama era Perang Dingin itu tidaklah murah. Ongkos perang yang harus dikeluarkan Kremlin bernilai puluhan miliar dolar AS.
Hindustan Times mengutip estimasi Forbes menyebutkan dalam sembilan bulan sejak invasi digelar pada 24 Februari 2022 saja, Rusia diperkirakan telah menghabiskan seperempat anggaran tahunan negara.
Ongkos perang yang telah dihabiskannya selama sembilan bulan apa yang disebut Kremlin sebagai operasi militer khususnya ke Ukraina itu mencapai 82 miliar dolar AS (Hindustan Times, 2022).
Tentu, dana sebesar itu tidaklah kecil. Namun, bagaimana Kremlin bisa menopang ongkos perang yang mahal itu padahal sanksi ekonomi dan non-ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutunya bertubi-tubi menghantam Rusia.
Masih segar dalam ingatan bahwa paket-paket sanksi itu dijatuhkan tak lama setelah Rusia memulai invasinya yang dicatat Al Jazeera sebagai "serangan terbesar terhadap satu negara berdaulat di Eropa sejak Perang Dunia II" ini.
Panen sanksi
Presiden AS Joe Biden, misalnya, tak merasa cukup hanya mengutuk aksi sepihak Moskow yang disebutnya sebagai serangan militer yang tak dapat dibenarkan itu. Dia pun mengumumkan paket sanksi ekonomi dan keuangan yang sangat keras terhadap Rusia serta kalangan elit dan pengusaha yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin.
Bak sebuah orkestrasi, para pemimpin Uni Eropa yang diikuti oleh sejumlah negara sekutu AS lainnya, seperti Kanada dan Inggris, pun menjatuhkan sanksi ekonomi yang sejalan dengan kebijakan Gedung Putih.
Bahkan, delapan hari setelah invasi Kremlin ke Ukraina itu, para duta besar Uni Eropa sepakat mendepak tujuh bank Rusia dari sistem pengiriman pesan keuangan SWIFT (Society for Worldwide Internbank Financial Telecommunication).
Di antara bank-bank Rusia yang dikeluarkan dari sistem pengiriman pesan yang memungkinkan transaksi bernilai triliunan dolar AS di seluruh dunia itu adalah VTB Bank PJSC dan Bank Rossiya (Nardelli et al., Bloomberg, 2022).
Blok Barat ini tampaknya yakin kalau langkah mereka itu bakal memukul urat nadi perekonomian Rusia di sejumlah sektor, seperti keuangan, energi, perdagangan, dan transportasi.
Bagi awak media global yang haus berita, pengaruh sanksi ekonomi dan keuangan yang dijatuhkan AS dan sekutunya itu pun dijadikan agenda pemberitaan mereka.
Suasana pasar sembako, antrean puluhan warga Kota Moskow yang hendak menarik uang mereka di mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM), dan tayangan nilai tukar Ruble yang anjlok terhadap dolar AS menjadi agenda pemberitaan berbagai stasiun televisi berita dunia.
Terkait dengan nilai tukar dolar AS terhadap Ruble, pada 28 Februari 2022 atau empat hari setelah Putin mengumumkan operasi militer khususnya di Ukraina tersebut, CNN, misalnya, memberitakan nilai tukar Ruble rontok sekitar 20 persen terhadap dolar Amerika.
Perihal terkoreksinya secara signifikan nilai tukar mata uang Rusia ini menunjukkan besarnya kekuatan dolar AS sebagai "senjata" Gedung Putih dalam menghukum Kremlin.
Profesor Kishore Mahbubani, diplomat veteran dan akademisi kondang Singapura, membenarkan kekuatan dolar AS ini. Bahkan penulis buku Has China Won? The Chinese Challenge to American Primacy (2020) ini menegaskan bahwa senjata terkuat Amerika untuk menghukum Rusia akibat operasi militernya di Ukraina ini bukanlah kapal induk atau pesawat pembom strategis, melainkan dolar AS.
Realitas ini, menurut Mahbubani dalam satu program dialog The Straits Times (ST) awal Maret 2022, diamati Tiongkok secara sangat hati-hati.
Sanksi-sanksi AS dan sekutunya itu tak hanya mengancam nilai tukar Ruble terhadap dolar AS. Yang tak kalah serius dari kejatuhan nilai tukar mata uang Rusia terhadap dolar AS itu adalah kontraksi ekonomi.
Dalam satu pernyataannya, Gedung Putih mengutip prediksi para pakar yang menyebutkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Rusia akan mengalami kontraksi hingga 15 persen.
Akibatnya, pencapaian ekonomi Rusia dalam 15 tahun terakhir diperkirakan akan "terhapus" (DW, 2023). Apakah prediksi Pemerintah AS itu terbukti?
Energi dewa penyelamat
Fakta menunjukkan setelah setahun berperang dengan ongkos yang mahal, Rusia tetap mampu bertahan. Lantas, apa yang membuat perekonomian negara itu mampu bertahan? Sektor energi Rusia yang demikian besar, terutama minyak dan gas bumi, merupakan jawabannya (DW, 2023).
Agresi militer Moskow yang telah membuat berang AS dan Uni Eropa itu tidak serta merta membuat mereka gelap mata dengan langsung menggebuk sektor energi yang merupakan tulang punggung perekonomian Rusia ini.
Tampaknya Uni Eropa berupaya realistis karena adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa negara-negara anggotanya seperti Jerman, Italia, dan Belanda, tidak bisa begitu saja membebaskan dirinya dari ketergantungan mereka yang besar terhadap pasokan gas alam Rusia ini.
Pada 2021 atau setahun sebelum invasi Kremlin ke Ukraina itu, pasokan gas alam Rusia ke negara-negara anggota Uni Eropa sudah mencapai 40 persen walau seiring dengan berkobarnya perang, secara perlahan, persentase ketergantungan Uni Eropa terhadap gas alam Rusia menurun.
Pada Agustus 2022, mengutip data Uni Eropa, Jake Horton & Daniele Palumbo (BBC, 2023) mencatat persentase pasokan gas alam Rusia ke negara-negara anggota perhimpunan regional ini tinggal sekitar 17 persen. Dalam hal ini, Jerman tercatat sebagai pengimpor terbesar disusul Italia dan Belanda.
Karenanya dapat dipahami kalau Uni Eropa tak hendak terburu-buru menjatuhkan sanksi terhadap migas Rusia ini karena hal itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi banyak negara anggotanya.
Menurut Dewan Uni Eropa dalam laman resminya, ekspor minyak mentah Rusia ke Uni Eropa, misalnya, baru terkena sanksi pelarangan pada Desember 2022 sedangkan produk-produk bahan bakar minyak olahan pada Februari 2023.
Uni Eropa pun tidak menyasar produk-produk pangan, pertanian, dan pupuk Rusia ke pasar dunia dengan dalih bahwa Moskow ikut bertanggungjawab terhadap penanggulangan krisi pangan dunia.
Terkait dengan paket-paket sanksi AS dan sekutunya yang menyasar ekonomi, sistem keuangan, transportasi, entitas korporasi strategis tertentu, dan bahkan sejumlah warga negara Rusia ini, Uni Eropa berdalih bahwa semua itu dimaksudkan untuk melemahkan kemampuan Moskow membiayai ongkos perangnya di Ukraina.
Perlu dicatat bahwa Uni Eropa tidak kali ini saja menjatuhkan sanksi kepada Rusia sebagai jawaban atas apa yang disebut Brussel sebagai invasi Kremlin ke Ukraina pada 24 Februari 2022 dan pencaplokan terhadap Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson.
Enam tahun sebelumnya, Uni Eropa telah pun menjatuhkan sanksi menyusul apa disebut Brussel sebagai aneksasi terhadap Krimea dan sikap abai Moskow terhadap pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan Minsk.
Paling terkena sanksi
Terkait dengan invasi Rusia ke Ukraina yang sudah berlangsung setahun ini, sanksi-sanksi tambahan Blok Barat itu telah menjadikan Rusia negara paling terkena sanksi ekonomi dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Betapa tidak, dalam sepuluh hari pertama agresinya ke Ukraina itu, Rusia terkena tambahan beragam sanksi yang membuatnya menduduki peringkat pertama dalam daftar negara-negara yang terkena sanksi Barat. Kemudian, disusul Iran, Suriah, Korea Utara, Venezuela, Myanmar, dan Kuba (Bloomberg, 2022).
Selain sanksi ekonomi, Moskow pun terkena sanksi non-ekonomi. Uni Eropa yang selama ini menempatkan diri sebagai kampium kebebasan pers dan perlindungan hak rakyat untuk mendapatkan informasi, misalnya, bahkan melarang kanal pemberitaan Russia Today dan Sputnik di negara-negara anggotanya (The Guardian, 2022).
Pelarangan terhadap kedua media berpengaruh Rusia, termasuk jejaring media yang dimilikinya, itu tampaknya dimaksudkan Uni Eropa untuk menjauhkan publik Uni Eropa dari sumber informasi dan pemberitaan tentang Perang Ukraina versi Moskow.
Semua paket sanksi ekonomi dan non-ekonomi Blok Barat itu sepertinya belum cukup kuat untuk menghentikan petualangan militer Rusia di Ukraina walau dunia berharap Moskow dan Kyiv segera mengakhiri perang yang mahal dan hanya menyisakan nestapa yang mendalam bagi rakyat tak berdosa ini.