Surabaya (ANTARA) - Oleh: Aryo Seno Bagaskoro*
Lebih dari 4 juta masyarakat dunia menyaksikan kemenangan dramatis Argentina atas Prancis di babak pamungkas Piala Dunia 2022. Adu penalti yang begitu mendebarkan mengantarkan Lionel Messi dan kawan-kawan mengangkat gelar juara dunia bagi Argentina yang ketiga kalinya, menyisakan kekalahan pahit bagi Kylian Mbappe dan kawan-kawan beserta segenap pendukungnya.
Di lorong-lorong kampung, antusiasme Piala Dunia begitu tinggi. Kelompok-kelompok kecil warga turut riuh ramai menyaksikan. Gelaran empat tahunan ini membelah dukungan, tetapi juga mempersatukan keakraban. Ada yang kecewa, ada yang bergembira.
Namun suguhan pertandingan bola di atas lapangan hijau selalu menggugah keceriaan bagi semua. Apalagi pada final kemarin malam yang konon adalah salah satu final terbaik yang pernah ada.
Dari beragam kesan yang membekas, sedikit yang menyadari bahwa kemenangan Argentina tidak muncul begitu saja dari langit-langit kosong. Ada kekuatan di baliknya yang membuat tim besutan Lionel Scaloni tersebut mampu merebut gelar juara paling dinanti seantero jagad itu. Kekuatan itu bernama karakter.
Di Argentina, tepatnya di Buenos Aires, ada Akademi Sepak Bola ternama bernama Argentinos Juniors. Akademi ini konsisten melahirkan mega bintang sepak bola. Mulai dari Diego Maradona, Esteban Cambiasso, hingga Juan Roman Riquelme.
Berbeda dengan Akademi La Masia milik klub ternama Barcelona yang melahirkan pemain seperti Lionel Messi, akademi sepak bola yang ada di Argentina kebanyakan tidak mengedepankan kemewahan fasilitas.
Kesamaannya, mereka mampu menangkap dan menguatkan karakter para calon pemain-pemain sepakbola dunia dari Argentina sejak di usia yang sangat muda. Dunia tahu bagaimana Messi yang gemilang adalah anak pegawai pabrik yang menderita penyakit kekurangan hormon pertumbuhan di usia 11 tahun.
Demikian pula dengan Emilliano Martinez, kiper andalan timnas Argentina yang menjadi salah satu penentu kemenangan di adu penalti. Ia dibesarkan oleh keluarga dari lingkungan miskin di Mar del Plata yang untuk membayar kontrakan pun sering kesulitan.
Para akademi sepakbola di Eropa dan Amerika Latin sering kali sangat sukses mengendus bakat-bakat emas. Agaknya tak sulit bagi mereka untuk mengorbitkan nama-nama legendaris itu, sebab karakter dan mental juara anak-anak muda disana sangat siap untuk menguasai jagad sepakbola. Peran akademi dan lembaga pendidikan disana adalah menguatkan karakter itu.
Hasilnya, para pemain itu tampil bak kesetanan saat berhadapan dengan tim-tim tangguh. Memanjakan mata para penonton dunia dan membuktikan ketangguhan karakter.
Ikhtiar Berkarakter Tepat di hari yang sama dengan laga final yang dramatis itu, Kota Surabaya terlebih dahulu gegap gempita dengan adanya lebih dari 50.000 pelajar SD dan SMP yang menari Remo secara serentak di berbagai titik.
Mereka dimobilisasi oleh sekolah masing-masing dengan diberi pembekalan dan pelatihan tentang Tari Remo dulu sebelumnya. Gelaran ini memantik inspirasi, di tengah banyaknya polemik tentang persoalan karakter dan jati diri bangsa di kalangan anak-anak muda yang dicurigai sedang memudar mulai dari maraknya gerombolan tawuran, budaya asli yang mulai dilupakan, tayangan asing yang lebih digemari, hingga tentang cara berbusana dan berbicara.
Upaya menggelorakan kembali Tari Remo ini bisa ditangkap sebagai salah satu cara untuk memperkuat karakter jati diri Bangsa Indonesia di kalangan generasi penerus. Apalagi rencananya, Pemerintah Kota Surabaya akan memasukkan muatan tentang Remo menjadi salah satu ekstrakurikuler wajib bagi para pelajar.
Langkah ini perlu diapresiasi, bahkan kalau bisa direplikasi di tempat dan situasi lain. Tapi juga harus diawasi agar kebermanfaatannya terjaga dan kehadirannya tidak memberatkan siapa pun. Pekerjaan Rumah Kita Dulu, Ki Hajar Dewantara pernah mengutarakan konsep 3N. Niteni, Nirokke, Nambahi.
Artinya, mengamati, menirukan, menambahkan. Itulah esensi dari keseluruhan pendidikan yang memerdekakan. Konsep ini dapat bekerja dengan maksimal apabila ada role model yang mampu menjadi teladan bagi anak-anak muda. Pengaruh teladan tidak hanya memberikan inspirasi, tetapi juga menjadi contoh sikap tentang cara berlaku mulai dari konsistensi, determinasi, hingga integritas.
Nilai-nilai karakter yang mulai kering ini harus kembali disuntikkan dengan munculnya teladan-teladan kecil dari siapa pun, terutama para tokoh, selebritas, dan pengambil kebijakan. Sebab merekalah yang menjadi etalase karakter bagi anak-anak muda.
Muatan luarnya boleh apapun mulai olahraga, kebudayaan, kesenian, keterampilan karya. Tapi karakternya tidak berubah. Ada unsur jati diri di situ yang hanya bisa diuji dengan waktu dan keteladanan seharihari.
Misalnya tentang Tari Remo. Akan lebih mudah untuk dipelajari dan dihayati apabila dalam laku seharihari, anak-anak muda disuguhi dengan sajian kebudayaan yang mengikuti kemasan jaman dan tidak kaku. Juga tentang Ludruk, Parikan, atau Sedekah Bumi. Tontonan-tontonan tentang kebudayaan yang mulai memudar ini harus kembali dikuatkan dan diresonansi. Dengan para teladan menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai itu.
Hal ini yang dilakukan oleh Argentina misalnya. Messi yang demikian cemerlang terlebih dahulu punya teladan karakter dalam diri Diego Maradona. Jauh sebelum Messi dan Maradona, ada Alfredo di Stefano yang tak kalah melegenda. Pesan tentang karakter dan jati diri ini terwariskan, bahkan terus menginspirasi lapisan generasi.
Indonesia sebenarnya juga mampu. Kita bangsa yang teruji dalam hal semangat heroisme dan nilai-nilai luhur di masa lalu. Persoalan mempertahankan jati diri dan karakter di masa kini dan di masa yang akan datang, itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita semua.
*Penulis merupakan Pendiri Aliansi Pelajar Surabaya, Alumnus SMAN 5 Surabaya, dan Mahasiswa
Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Kemenangan Argentina dan refleksi tentang karakter
Sabtu, 24 Desember 2022 16:02 WIB