Surabaya (ANTARA) - Memasuki musim hujan seperti saat ini, bencana banjir tidak jarang selalu mengintai permukiman warga, baik di daerah pelosok maupun kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Jumlah penduduk yang padat, sementara infrastruktur dan sarana prasarana pendukung yang terbatas, bisa menimbulkan kondisi rawan banjir.
Banjir tidak hanya berdampak terhadap kerusakan infrastruktur, tapi sering kali juga mengganggu aktivitas ekonomi , dan mobilitas masyarakat. Penduduk harus mengungsi karena tempat tinggal tergenang banjir, aktivitas belajar mengajar di sekolah-sekolah berhenti karena genangan banjir masuk ke ruang kelas, dan lainnya.
Upaya antisipasi dan penanggulangan banjir pun terus dilakukan oleh pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun di daerah. Berbagai cara dan strategi dilakukan untuk meminimalisasi banjir agar tidak meluas dan berdampak besar.
Pemkot Surabaya, Jawa Timur, misalnya yang kini memetakan daerah rawan banjir berikut upaya antisipasi dan penanggulangannya. Ada sekitar 117 titik genangan dan banjir yang ada di Surabaya yang perlu ditindaklanjuti dengan penanganan yang tepat. Upaya penanggulangan banjir yang telah dilakukan Pemkot Surabaya mulai dari pemetaan luasan wilayah terdampak, hingga elevasi genangan.
Salah satunya, banjir yang kerap menerjang di kawasan pusat kota. Kawasan itu pun telah dipetakan dan mulai digarap penyelesaiannya meliputi pengerukan sedimen saluran air, pelebaran dan pendalaman drainase, hingga mengkoneksikan saluran. Selain itu, penambahan crossing (sudetan) saluran.
Bahkan, Pemkot Surabaya mencari alternatif lain dengan melakukan pencarian gorong-gorong peninggalan Belanda di Jalan Embong Malang, Bubutan, Jalan Pahlawan yang bermuara menuju Sungai Kalimas. Hal itu dilakukan sebagai upaya mengatasi banjir saat hujan deras di kawasan pusat kota.
Gorong-gorong tersebut merupakan peninggalan bersejarah saat penjajahan Belanda saat itu. Surabaya sendiri merupakan kota infrastruktur sejak awal abad ke-19. Sehingga bangunan yang dibangun Pemerintah Belanda saat itu kebanyakan bergaya Eropa, salah satu gorong-gorong.
Pegiat sejarah Surabaya, Nur Setiawan, menduga gorong-gorong tersebut dibangun pada tahun 1910 setelah Surabaya mulai mengalami pengaspalan. Karena saat itu di Surabaya jalanan masih berupa tanah sehingga jika musim kemarau banyak debu dan saat musim hujan jalan becek.
Kondisi geografis Surabaya yang hampir memiliki ketinggian sama dengan air laut, menjadikan Belanda berinisiatif membuat gorong-gorong yang tingginya mencapai 3-4 meter dengan diameter cukup lebar. Jika digambarkan, mobil bisa melintasi jalur tersebut. Dahulu, saat musim hujan dan banjir rob, Surabaya bisanya tenggelam oleh luapan air lautan.
Adapun letak gorong-gorong juga berada dari tengah kota hingga utara. Bahkan, rata-rata bangunan saluran air ini berada di tengah jalan kota.
Gorong-gorong Jalan Bubutan memiliki alur menuju Jalan Praban, Tembok, dan Tugu Pahlawan. Total panjang simulasi empat ruas sekitar satu kilometer lebih. Bentuknya mengikuti jalan. Salah satunya Rumah Pompa Kenari yang terhubung dengan gorong-gorong Embong Malang hingga BG Junction dan bermuara di Kali Mas belakang Gedung Negara Grahadi.
Pencarian gorong-gorong
Lebih dari satu abad berselang, gorong-gorong peninggalan Belanda tersebut tetap dimanfaatkan hingga sekarang. Meskipun beberapa temuan harus terlindas oleh bangunan-bangunan baru gedung pencakar langit.
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Surabaya, Lilik Arijanto, memprioritaskan pencarian gorong gorong peninggalan Belanda di wilayah Blauran sampai Kranggan, karena setiap turun hujan di kawasan itu selalu banjir. Selama ini, pembuangan di arahkan ke Bozem (penampungan air) Morokrembangan. Sedangkan letak dari Blauran ke Morokrembangan cukup jauh.
Rencananya, jika gorong-gorong Belanda di area depan Kranggan dapat ditemukan, maka penyudetan akan dilakukan untuk membelokkan aliran air ke gorong-gorong di Embong Malang, lalu masuk ke rumah pompa Jalan Kenari hingga Sungai Kalimas.
Dahulu air Sungai Kalimas tidak bisa ditampung karena ketika air laut masuk terjebak sampai Dam Karet baik itu pada saat surut maupun pasang. Namun, saat ini sudah tidak lagi, karena di kawasan Petekan sudah ada pintu air, sehingga bisa ditutup sehingga air laut sudah tidak bisa masuk lagi.
Ide penelusuran gorong-gorong Belanda sebetulnya sudah ada dari dulu. Namun, baru saat ini mulai dilakukan. Pembukaan gorong gorong Belanda berada di Jalan Embong Malang dilanjutkan ke arah selanjutnya.
Menurut Lilik, ujungnya gorong-gorong sudah ketemu, namun kalau sampai ke hulu harus diurut karena di bawah jalan semua. Rata rata saluran bangunan Belanda di tengah jalan. Sedangkan untuk lebar gorong-gorong Belanda itu variatif atau tidak sama. Tapi kalau ke arah pelabuhan semakin besar, tergantung volume, debit airnya.
Upaya tersebut mendapat dukungan dari anggota Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Surabaya William Wirakusuma. Menurut Wiiliam, berbagai upaya telah dilakukan Pemkot Surabaya untuk penanganan banjir antara lain pemeliharaan dan rehabilitasi saluran drainase dan bozem, serta pembangunan dan penyediaan sarana prasarana pematusan. Namun upaya ini belum mampu mengatasi problem banjir di Surabaya.
Hal ini terlihat dari indeks genangan di Kota Surabaya pada tahun 2021 yang hanya turun 1 persen jika dibandingkan tahun 2020. Pada tahun 2021, Surabaya telah menghabiskan anggaran sekitar Rp171 miliar untuk pengelolaan dan pengembangan sistem drainase. Tetapi luasan banjir hanya turun 10,07 hektare dan tidak ada perubahan tinggi genangan dibanding tahun 2020.
Normalisasi gorong-gorong peninggalan Belanda dinilai tepat membantu mengatasi banjir di Surabaya. Untuk itu, pemkot diminta mencari peta saluran air zaman Belanda dan mempelajari tata airnya.
Sebab, Surabaya sebagai sentra niaga peninggalan Pemerintah Belanda yang saat itu berada di kawasan pesisir memiliki infrastruktur yang dapat mencegah terjadinya banjir. Infrastruktur itu berupa gorong-gorong yang berada di bawah jalan.
Kebut pembangunan saluran
Agar tidak berlarut-larut, Pemkot Surabaya mempercepat pengerjaan saluran di 55 titik di Kota Pahlawan agar tidak ada genangan dan banjir saat musim hujan kali ini.
Semenjak dilantik menjadi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pada Februari 2021, Cak Eri--panggilan akrab Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi-- belum bisa berbuat banyak karena anggaran di Pemkot Surabaya sudah disahkan pada bulan November tahun 2020. Di tahun 2021, Cak Eri tidak membuat anggaran, sehingga ketika terjadi permasalahan, termasuk genangan, tidak bisa berbuat banyak, melainkan hanya bisa melokalisir dan melakukan penyedotan genangan biar cepat surut.
Namun, untuk tahun 2022 ini, dilakukan pengerjaan saluran secara masif di semua tempat yang masih terdapat genangan air di musim hujan tahun lalu. Terbukti, saat ini bisa dilihat dari ujung Surabaya, baik ujung Surabaya timur hingga barat, dan utara hingga selatan banyak pembangunan box culvert. Hal itu dilakukan untuk menghubungkan antara saluran yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan, di daerahnya Ketintang Madya atau kawasan dimana Cak Eri bertempat tinggal, sudah puluhan tahun selalu ada genangan hingga selutut orang dewasa pada saat hujan deras. Untuk itu, dengan adanya pengerjaan saluran tahun ini, diharapkan genangan-genangan itu tidak terjadi lagi.
Pengerjaan pembangunan saluran air dan sodetan yang dilakukan di 55 lokasi yang rawan banjir di Surabaya, sebagian sudah selesai. Hanya tinggal dirapikan dan ditutup.
Berdasarkan pantauan, mayoritas area pembangunan saluran air saat ini tidak tergenang meskipun hujan turun. Bahkan, daerah pusat kota serta daerah Ketintang saat ini tidak lagi tergenang saat hujan turun.
Pembangunan saluran dan sodetan di 55 lokasi ditargetkan bisa selesai pada November atau awal Desember 2022. Berbagai upaya tersebut diharapkan agar Surabaya ke depannya bebas dari banjir dan genangan. (*)
Menelusuri gorong-gorong peninggalan Belanda, atasi banjir di Kota Surabaya
Oleh Abdul Hakim Jumat, 18 November 2022 14:10 WIB