Surabaya (ANTARA) - Indonesia negara maritim. Sejarah panjang telah menyertai pengelolaan pelabuhannya. Negeri yang dulu terdiri dari kerajaan-kerajaan ini, telah melahirkan kerajaan maritim yang tersohor di Nusantara masa lalu, di antaranya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Bahkan, kerajaan di Maluku pada masa lalu pernah memegang kunci jalur perdagangan rempah-rempah dunia. Pedagang-pedagang dari Gujarat (India) dan China mengambil rempah-rempah dari Kepulauan Maluku, kemudian mengirimkannya melalui kapal-kapal dagang menuju China, Semenanjung Arab, Eropa, hingga ke Madagaskar.
Pelabuhan-pelabuhan kecil di Indonesia memiliki peran penting, menjadi tempat persinggahan dan pusat perdagangan yang mempertemukan para pedagang dari berbagai bangsa. Indonesia memiliki 17 ribuan pulau dengan luas 5.176.800 kilometer persegi. Dari luas tersebut sekitar dua per tiganya adalah lautan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Nusantara kemudian dikenal menjadi bandar niaga yang besar dan melatari lahirnya Pelabuhan Indonesia di era kemerdekaan hingga kini.
Pengelolaan pelabuhan di Indonesia yang dijalankan PT Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV (Persero) selama ini mendasarkan kepada kewilayahan. PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) berpusat di Belawan, Medan, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) di Tanjung Priok, Jakarta, PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) di Surabaya, Jawa Timur, dan PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Namun, pengelolaan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia kini memasuki babak baru setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2021 tentang Penggabungan PT Pelindo I, III, dan IV (Persero) ke dalam PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).
Pelindo II sesuai peraturan tersebut bertindak sebagai holding induk atau perusahaan induk, sedangkan Pelindo I,III, dan IV bertindak sebagai subholding yang mengelola klaster-klaster usaha guna meningkatkan kapasitas pelayanan Pelindo dan efisiensi usaha. Jadi, pengelolaan pelabuhan setelah merger lebih mendasarkan kepada klaster usahanya.
Peraturan Pemerintah itu kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor : S-756/MBU/10/2021 tanggal 1 Oktober 2021 perihal Persetujuan Perubahan Nama, Perubahan Anggaran Dasar dan Logo Perusahaan.
Menteri BUMN Erick Thohir mengemukakan bahwa merger Pelindo merupakan amanah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Merger keempat Pelindo (Pelindo I,II,III dan IV), disebutnya sebagai salah satu pendorong untuk mewujudkan visi tersebut.
Erick juga optimistis merger mampu membawa industri logistik di Indonesia memiliki nilai kompetitif, sehingga pengiriman dari Indonesia ke negara-negara tujuan bisa langsung, tanpa harus singgah terlebih dahulu di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia atau secara direct call.
Direct call diharapkan bisa menekan biaya logistik (logistic cost) yang hingga saat ini dinilai masih tinggi, sekitar 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan negara tetangga sudah sekitar 13 persen dari PDB. Ditargetkan pada 2024 biaya logistik di Indonesia bisa ditekan menjadi 17 persen.
Sementara itu, sebagai bagian dari restrukturisasi, PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo selanjutnya telah melakukan dua aksi korporasi pada perusahaan subholding, yakni melakukan serah operasi bisnis dan pengalihan saham (inbreng) Pelindo kepada Subholding sesuai klaster bisnis masing-masing untuk memperkuat bisnis inti Pelindo pascamerger.
Aksi korporasi tersebut ditandai dengan penandatanganan kesepakatan serah operasi bisnis dari Pelindo kepada PT Pelindo Terminal Petikemas (SPTP), PT Pelindo Multi Terminal (SPMT), PT Pelindo Jasa Maritim (SPJM) dan pengalihan usaha kepada PT Pelindo Solusi Logistik (SPSL), pada 29 Desember 2021. Empat Subholding Pelindo telah efektif beroperasi per 1 Januari 2022. Dengan demikian, merger Pelindo telah berjalan Januari-Agustus 2022, sekitar delapan bulan.
Mengalami perubahan
Jika dirunut, pengelolaan pelabuhan di Indonesia telah melalui masa yang panjang. Pelindo yang dikenal saat ini sebenarnya telah melalui berbagai perubahan bentuk usaha dan status hukum. Pada tahun 1945-1951 pengelolaan pelabuhan berada di bawah wewenang Departemen Van Scheepvaart, yakni suatu badan peninggalan pemerintah Belanda. Kemudian, pada tahun 1952-1959, pengelolaan pelabuhan dijalankan oleh Jawatan Pelabuhan.
Setelah itu, sejak tahun 1960 pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah pengendalian pemerintah. Pada tahun 1960 hingga 1993 pengelolaan pelabuhan telah mengalami beberapa perubahan, disesuaikan dengan arah kebijakan pemerintah dalam rangka menunjang pembangunan nasional serta mengimbangi pertumbuhan permintaan layanan jasa kepelabuhanan yang dinamis.
Pada periode 1960-1963, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960, pengelolaan pelabuhan umum dilakukan oleh Perusahaan Negara (PN) Pelabuhan I-VIII. Namun, pada tahun 1964-1969, sedikit ada perubahan, karena aspek komersial pengelolaan pelabuhan tetap dilakukan oleh PN Pelabuhan, tetapi kegiatan operasional pelabuhan dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah yang disebut Port Authority.
Selaras dengan dinamika yang ada, pada tahun 1969-1983, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1969, PN Pelabuhan dibubarkan dan lembaga pemerintah Port Authority berubah menjadi Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP).
Pengelolaan pelabuhan umum pada kurun waktu 1983-1992 dibedakan antara pelabuhan umum yang diusahakan dan pelabuhan umum yang tidak diusahakan. Pengelolaan pelabuhan umum yang diusahakan dilakukan oleh Perusahaan Umum (Perum) Pelabuhan, sedangkan pengelolaan pelabuhan umum yang tidak diusahakan dilakukan oleh unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1983. Perum Pelabuhan mencakup Perum Pelabuhan I,II,III dan IV.
Pemerintah pada tahun 1992 mengeluarkan keputusan untuk mengubah status Perum Pelabuhan menjadi Perseroan Terbatas Pelindo I-IV. Dengan perubahan status tersebut diharapkan BUMN pengelola dan pengembang pelabuhan ini bisa bersaing, tanpa mendapatkan kekhususan dan mampu mengikuti arus dan dinamika persaingan global.
Perubahan adalah keharusan
Menyimak sejarah panjang pengelolaan pelabuhan di Indonesia, seperti mendapat pelajaran berharga bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan adalah suatu keharusan jika tidak ingin tergilas oleh kemajuan zaman.
Pengelolaan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia telah mengalami beberapa kali adaptasi dan transformasi di zamannya guna menjaga relevansi dan daya saing. Pengelolaan pelabuhan yang dulu hanya bersifat konvensional, manual, kini telah beranjak kepada pengelolaan pelabuhan yang padat teknologi dan berkelanjutan.
Founder Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, dalam suatu webinar bertajuk Change Management Pelindo Bersatu, pada Jumat (25/6/2021), pernah mengemukakan bahwa dengan kemajuan teknologi dan informasi serta kondisi pandemi Covid-19 di beberapa negara, membuat semua sektor harus bisa melakukan perubahan guna mampu beradaptasi pada kondisi yang terjadi.
Penggabungan BUMN operator pelabuhan yaitu Pelindo I,II,III dan IV dinilai menjadi langkah yang paling tepat dan relevan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini. Integrasi Pelindo, menjadi salah satu kekuatan operator pelabuhan terbesar di dunia.
Sebagai salah satu perusahaan operator pelabuhan yang memiliki peran besar dalam menjaga rantai distribusi logistik dan berimplikasi pada kemajuan ekonomi suatu Negara, diperlukan terobosan melalui integrasi antarperusahaan. Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan pelayanan di seluruh wilayah kerja, serta berpeluang menjadikan sebuah kekuatan besar di dunia logistik.
Apalagi, era disrupsi saat ini tidak hanya terjadi pada satu sisi, tapi bisa dikatakan double disruption, yakni disrupsi akibat teknologi dan disrupsi dampak pandemi. Pelindo harus berjuang dan bersatu agar tidak ketinggalan. Integrasi menjadi bekal menghadapi kompetisi di masa depan.
Direktur Utama Pelindo yang kala itu selaku Ketua Organizing Committee Integrasi Pelindo Arif Suhartono mengatakan bahwa integrasi yang dilakukan tidak hanya akan memberikan manfaat kepada Negara, namun juga masyarakat melalui peningkatan layanan jasa kepelabuhanan.
Oleh karenanya, ia mengajak seluruh insan Pelindo dari Sabang hingga Merauke untuk menjadi bagian dari sejarah, dengan mendukung integrasi melalui adaptasi budaya perusahaan dan etos kerja yang lebih baik lagi sesuai Core Value BUMN AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif).
Sekjen Federasi Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (FSPPI) Dodi Nurdiana menyatakan bahwa serikat pekerja mendukung penuh integrasi yang dipersiapkan oleh manajemen. Serikat pekerja berada di garda terdepan mengawal proses integrasi sampai selesai, dan menjadi yang terdepan juga dalam mendukung pemberantasan pungli untuk mewujudkan pelabuhan bersih. (*)
Bersambung