Surabaya (ANTARA) - Pulau Kangean, secara administratif pemerintahan, masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur.
Meskipun demikian, pada banyak hal, masyarakat Pulau Kangean sangat jauh dan berbeda dari Madura. Secara geografis, Kangean juga dekat dengan Pulau Bali atau peris berada di utara Pulau Dewata. Jarak Sumenep dengan Kangean sekitar 160 KM, sedangkan Kangean dengan Bali sekitar 169 KM.
Perbedaan yang sangat terlihat antara Kangean dengan daratan Madura, khususnya Sumenep sebagai induk administrasi pemerintahan, adalah bahasa. Kosa kata Bahasa orang Kangean banyak perbedaan dengan Bahasa Madura pada umumnya. Kalau kata saya di Madura pada umumnya adalah "engkok" atau "sengkok", di Kangean menjadi "ako" atau dalam strata lebih tinggi menjadi "keta". Untuk "be'en" (kamu) menjadi "kao".
Demikian juga terkait budaya pertahanan. Kalau masyarakat Madura pada umumnya menggunakan senjata celurit, di Kangean, selain celurit juga ada "kalebeng" atau kelewang.
Tradisi terkenal di Madura, "karapan sapi", di Kangean justru yang ada lomba adu ketangkasan kerbau. Selain sapi, masyarakat Kangean juga memiliki ternak piaraan kerbau, yang justru di Pulau Madura bisa dikatakan tidak ada.
Hal ini diduga terkait kebiasaan hidup kerbau yang suka berkubang di lumpur. Di Kangean yang tanahnya subur, sehingga sangat mudah menemukan kubangan lumpur, sementara di Pulau Madura umumnya tandus.
Persamaannya, karapan sapi dengan pacuan kerbau ini berbasis budaya agraris. Awal mula keduanya sama-sama sebagai hiburan rakyat dan pada perkembangannya memunculkan simbol sebagai harga diri dan kebanggaan bagi pemilik sapi atau kerbau.
Karena perbedaan itu, Dedi Sulaiman dari Program Magister Sosiologi Fisip Universitas Airlangga, dalam studinya mengemukakan ada "penolakan" warga Kangean disebut sebagai orang Madura.
Sebagaimana dikutip dari http://journal.unair.ac.id, Dedi memberi contoh, tidak sedikit warga Kangean yang berprofesi sebagai TKI di Malaysia yang
tidak mau disebut sebagai orang Madura. Demikian juga dengan para perantau yang menetap di luar Kangean.
Akademisi Universitas Negeri Malang asal Sumenep Prof Dr Abd Latif Bustami mengatakan bahwa orang Pulau Kangean mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura harus dijadikan pertimbangan dalam pembangunan wilayah.
Perbedaan antara masyarakat Kangean dengan Pulau Madura agaknya bersumber dari asal usul warga Pulau Bekisar itu di zaman dulu. Kangean memang merupakan perpaduan dari banyak suku, seperti Madura sendiri, Kalimantan, Sulawesi (Bugis dan Bajo), Arab, China dan Bawean (kepulauan di Kabupaten Gresik).
Jejak masa lalu yang menjadi asal usul masyarakat Pulau Kangean itu dapat dilihat dari nama-nama kampung, seperti Pecinan (China), Bugis (Sulawesi) dan Kampung Arab. Hanya saja, kampung-kampung itu saat ini sudah banyak yang tinggal nama karena beberapa warisan fisik dan bahkan budayanya tidak ada bekas.
Di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, jejak budaya China saat ini hanya tinggal panggilan, yakni encek (cek) untuk laki-laki dan encik (cik) untuk perempuan. Ada juga warga Dusun Pecinan yang masih dipanggil dengan koh.
Rumah-rumah model pecinan di dusun itu sudah banyak yang berubah, bahkan yang ada pun juga sudah diubah di beberapa bagian untuk mengikuti model rumah modern.
Jejak budaya Bajo dan Bugis dengan rumah panggung, juga sudah banyak yang hilang, meskipun secara identitas masih ada, yakni Kampung Bugis di Desa Pajenangger, Kecamatan Arjasa.
Penulis justru menemukan fakta yang agak lucu dengan adanya rumah panggung (satu-satunya) di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak. Pemiliknya, Muhammad Sofwan Sakir, justru berasal dari kabupaten Sampang, yang beristri orang Kangean. Ia memiliki rumah panggung kuno dari hasil membeli di Desa Pajenangger. Ia mengaku bahwa motifnya hanya suka saja dengan rumah model panggung dengan kayu-kayu sangat kokoh itu.
Persamaan
Dengan sejumlah perbedaan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Kangean adalah bagian dari Madura. Bahasa dan budaya Kangean tetap lah merupakan Bahasa Madura dengan logat berbeda.
Terkait etos kerja dan daya hidup, masyarakat Kangean tidak jauh berbeda dengan masyarakat Madura pada umumnya, yakni ulet dan pekerja keras. Demikian juga dengan harga diri dalam keluarga, yang menempatkan perempuan (istri) sebagai "mahkota" yang harus dilindungi dan dijaga kehormatannya.
Secara religi, masyarakat Pulau Kangean, semuanya adalah pemeluk Islam dan sistem pendidikan pesantren masih menjadi "idola" bagi para orang untuk membesarkan anak-anaknya. Karena itu tidak heran jika hampir di semua desa di Kangean akan ditemukan alumni pesantren, khususnya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo. Nama ulama besar dan terkemuka yang juga pendiri Ponpes Salafiyah Syai'iyah, yaitu KHR As'ad Syamsul Arifin, menempati relung hati masyarakat Pulau Kangean.
Pemandangan unik terjadi setelah habis maghrib hingga isyak, Kota Arjasa seperti kota mati karena tidak ada aktivitas masyarakat di luar rumah. Semua toko tutup, termasuk penjual makanan, dan suasana kota hidup kembali kembali setelah shalat isyak.
Meskipun mayoritas Muslim Kangean menganut paham ahlussunnah waljamaah yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU), namun tidak sedikit juga warga Kangean yang ikut organisasi Muhammadiyah. Perbedaan itu, selama ini tidak sampai mengganggu kerukunan dan toleransi, termasuk ketika ada perbedaan waktu Idul Adha, pada 1443 Hijriyah yang lalu.
Memahami perbedaan dan persamaan antara warga Pulau Madura dengan Pulau Kangean, bisa digunakan untuk landasan berpikir dan berpijak pada proses pembangunan di masa depan.
Kangean yang kaya dengan potensi alam dan budaya sehingga memiliki masa depan di bidang pariwisata, perlu dilibatkan secara langsung, dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan program. Pembangunan bagi Pulau Kangean tidak bisa hanya dipaksakan dari pemimpin wilayah di Kota Sumenep, tanpa memahami apa yang dimaui oleh warga Pulau Kangean.(*)