Pulau Kangean, Sumenep (ANTARA) - Kabupaten Sumenep merupakan satu-satunya wilayah di Madura yang memiliki gugusan pulau terbanyak, sekitar 126 pulau. Dari jumlah itu hanya 48 yang berpenghuni, selebihnya adalah pulau kosong.
Salah satunya adalah Kangean. Di gugusan Kangean terdapat sekitar 22 pulau kecil. Pulau Kangean terletak di timur laut dari daratan Sumenep dengan jarak sekitar 86 mil laut atau 160 KM. Pulau yang dikenal sebagai penghasil ayam bekisar bersuara merdu itu terletak di bagian utara Laut Bali atau di barat laut Nusa Tenggara. Meskipun lurus utara-selatan dengan Pulau Bali, secara administratif Kangean masuk waktu Indonesia bagian Barat atau WIB.
Secara religius, warga Kangean, termasuk gugusan pulau-pulau kecil di sekitarnya hampir semuanya pemeluk Islam, khususnya berpaham ahlussunah waljamaah dengan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).
Di Pulau Kangean sangat banyak warga yang merupakan alumni dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, dengan tokoh sentral almarhum KHR As'ad Syamsul Arifin, seorang pahlawan Nasional yang memiliki peran besar dalam proses pendirian organisasi NU oleh almarhum Hadratus Syech Hasyim Asy'ari.
Meskipun demikian penganut paham lain, seperti Muhammadiyah juga ada di pulau itu. Karena itu, pada momen Hari Raya Idul Adha ini, warga Kangean juga merayakannya berbeda. Sejumlah masjid di sekitar Kota Kecamatan Arjasa sudah terdengar lantunan takbir pada Jumat (8/7) malam atau merayakan Idul Adha pada Sabtu, 9 Juli 2022. Sebagian besar mereka ber-Idul Adha pada Minggu (10/7) sebagaimana keputusan pemerintah.
Di Masjid Ar-Rahmat, Kampung Pecinan, Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, kumandang takbir terdengar pada Sabtu (9/7) malam.
Sementara Shalat Id dilaksanakan di masjid pada Minggu, yang dimulai sekitar pukul 6:30 WIB. Sebagaimana umumnya di masyarakat Madura, khotbah Idul Adha disampaikan dengan Bahasa Madura, namun di masjid ini berlogat Kangean.
Seusai shalat sunnah, warga kemudian saling berkunjung ke rumah-rumah untuk bermaaf-maafan. Setiap rumah menyediakan jajanan untuk para tamu, meskipun waktu berkunjung di masing-masing rumah tidak sampai 10 menit.
Setelah itu warga Kampung Pecinan, khususnya kaum laki-laki, kembali berkumpul untuk bahu membahu dalam prosesi penyembelihan hewan kurban. Tahun ini takmir masjid Ar-Rahmat menerima empat ekor sapi untuk disembelih. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya dua ekor.
Setelah sapi-sapi itu disembelih, kemudian giliran ibu-ibu yang terlihat repot untuk memotong-motong daging sapi agar bisa dibagi rata untuk warga yang berhak menerima bagian.
Suara riuh ibu-ibu berbicara bersirobok dengan suara parang membentur kayu penadah daging dan tulang sapi. Mereka kemudian membungkus daging-daging bercampur tulang itu dalam plastik kresek. Tahun ini ada 200 keluarga yang akan mendapat bagian daging kurban. Panitia hanya menyembelih tiga ekor sapi pada hari pertama Idul Adha ini, sedangkan satu ekor akan disembelih keesokan harinya.
"Di sini umumnya menyembelih hewan kurban berupa sapi. Sangat jarang yang kambing. Memang tradisinya begitu dari dulu," kata Muhlis, panitia kurban Masjid Ar-Rahmat.
Ia mengemukakan hal itu kemungkinan karena di Pulau Kangean harga kambing lebih mahal karena harus mendatangkan kambing dari daratan Sumenep. Kemungkinan karena kondisi itulah warga lebih memilih ternak sapi untuk dijadikan kurban.
Pada umumnya warga yang akan berkurban menyerahkan hewan kurban ke panitia di masjid-masjid dan sangat jarang yang disembelih di rumah-rumah. Namun demikian, hal itu juga tergantung dari kepercayaan masyarakat kepada panitia penyembelihan.
Mengenai wabah penyakit mulut dan kuku, warga Kangean tidak terpengaruh karena daerah itu termasuk sentra penghasil sapi yang justru dikirim ke luar daerah. Menurut informasi dari sejumlah warga, sapi-sapi asal Kangean banyak dikirim ke beberapa kabupaten dan kota di Pulau Kalimantan.
Sementara untuk kebutuhan sehari-hari warga sangat jarang mengonsumsi daging karena persediaan ikan laut yang melimpah sangat mencukupi untuk kebutuhan lauk.
"Jadi orang Kangean itu hanya mengonsumsi daging setahun sekali, saat Lebaran. Setiap hari kami mengonsumsi ikan," kata Aan, seorang pemuda di Kecamatan Arjasa.
Sementara itu kebiasaan warga Kecamatan Arjasa seusai Shalat Idul Adha, termasuk Idul Fitri, pada sore hari bersama-bersama berziarah ke kuburan orang tua dan kerabat sambil menggelar doa bersama.
Terkait tradisi Suku Madura, yakni di wilayah Sampang dan Bangkalan yang justru merayakan Idul Adha lebih meriah dari Idul Fitri, di Kangean justru sebaliknya. Dalam beberapa hari terakhir hampir tidak terlihat adanya pemudik yang masuk ke Kangean. Padahal penduduk asal Kangean juga banyak yang merantau ke kota-kota besar, termasuk ke sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dengan menjadi tenaga kerja Indonesia status TKI. (*)