Surabaya (ANTARA) - Komisi B Bidang Perekonomian DPRD Kota Surabaya meminta pemerintah kota setempat mengevaluasi kinerja badan usaha milik daerah (BUMD) yang dinilai masih belum sesuai harapan masyarakat.
Ketua Komisi B DPRD Surabaya Lutfiyah di Surabaya, Rabu, mengatakan, Bagian Perekonomian Pemkot Surabaya sebagai pembina BUMD harus benar-benar melakukan evaluasi.
"Kami selalu mendorong dan memotivasi Bagian Perekonomian setiap rapat bersama. Tapi sampai sekarang kondisi BUMD tidak berubah," kata dia.
Menurut dia, pada saat menggelar rapat pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) APBD 2021 pada Selasa (28/6), pihaknya menilai pemaparan Bidang Perekonomian tidak sesuai kenyataan.
Berdasarkan laporan capaian kinerja BUMD di Surabaya bagus mayoritas 100 persen, bahkan ada yang lebih dari 100 persen. Begitu juga dengan laporan tentang kebijakan evaluasi pengelolaan BUMD dan BULD ini juga 100 persen.
"Kalau sudah 100 persen kan berarti hasilnya kan sudah bagus sesuai harapan. Tapi kenyataannya kondisi BUMD ya seperti ini saja," kata dia.
Berdasarkan rapat LKPJ terhadap sejumlah BUMD yang sudah dilakukan, banyak BUMD milik pemkot Surabaya yang tidak sehat.
Legislator Partai Gerindra ini berharap Bagian Perekonomian tidak hanya sekedar menjalankan tugas untuk menggugurkan kewajiban saja, melainkan harus benar-benar melakukan evaluasi.
Untuk itu, kata dia, Bagian Perekonomian harus mengubah strategi yang tepat sasaran, dalam pengawasan untuk menata BUMD menjadi lebih baik. "BUMD harus sehat, sehingga memperoleh laba dan bisa ada deviden. Sehingga sesuai harapan masyarakat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Surabaya Anas Karno sebelumnya menyoroti salah satu BUMD Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian Surabaya yang merugi karena tarif jasa potong terlalu murah yakni Rp50 ribu untuk setiap pemotongan satu hewan berupa sapi.
"Ini murah, kalau dibiarkan dan diteruskan, saya yakin RPH tidak akan berkembang dan mencapai target pendapatan surplus," kata dia.
Anas mengatakan, perlu ada revisi peraturan daerah soal tarif jasa potong hewan di RPH, sebagai acuan hukum.
Direktur PD RPH Surabaya Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan, biaya operasional PD RPH Surabaya lebih besar dari pada pendapatan. Sejumlah komponen yang memicu kerugian di antaranya tanggungan tunggakan pajak, dan tarif jasa potong hewan yang murah.
"Selama ini RPH menerapkan manajemen rumah potong tradisional. Jagal hanya dikenakan tarif jasa potong sebesar Rp50 ribu. Kemudian semua pekerjaan mulai dari pemotongan hingga pengemasan dilakukan oleh tim mereka," kata dia. (*)