Surabaya (ANTARA) - Kabar gembira bagi masyarakat Jawa Timur. Satgas COVID-19 Nasional mengumumkan bahwa per 22 September 2021, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang berjumlah 38 daerah telah berada di zona kuning atau berisiko rendah penyebaran virus Corona.
Ini untuk pertama kalinya situasi Jatim berada di zona risiko rendah penyebaran COVID-19 setelah hampir satu setengah tahun pandemi melanda Indonesia. Sebagai informasi, peta zonasi risiko daerah dihitung berdasarkan indikator-indikator kesehatan masyarakat dengan menggunakan skoring dan pembobotan.
Indikator-indikator yang digunakan seperti indikator epidemiologi, indikator surveilans kesehatan masyarakat serta indikator pelayanan kesehatan. Setiap indikator diberikan skoring dan pembobotan, lalu dijumlahkan yang hasil perhitungan dikategorisasi menjadi empat zona risiko, masing-masing risiko tinggi (zona merah), risiko sedang (zona oranye/jingga), risiko rendah (zona kuning), dan tidak berisiko (zona hijau).
Kendati seluruh kabupaten/kota di Jatim masuk zona kuning, seluruh warga tetap diingatkan untuk tidak larut dalam euforia, kemudian lengah terhadap protokol kesehatan. "Justru saat ini masyarakat harus patuh protokol kesehatan, tidak kendor dan segera lakukan vaksinasi," ujar Gubernur Khofifah Indar Parawansa berpesan.
Hingga saat ini, total capaian vaksinasi di Jatim sudah sebanyak 19.727.057 orang. Rinciannya, dosis pertama mencapai 12.891.110 orang dan dosis kedua sebanyak 6.835.947 orang. Upaya percepatan vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok terus dilakukan berbagai komponen di Jatim.
Baru sebagian kecil kabupaten/kota di Jatim yang capaian vaksinasinya mencapai 70 persen, batasan minimal untuk menuju kekebalan kelompok. Banyak kendala yang dihadapi untuk mempercepat vaksinasi, seperti kesiapan tenaga kesehatan (vaksinator) dan pasokan vaksin.
Untuk itu, meskipun seluruh kabupaten/kota sudah masuk zona kuning, kewaspadaan terhadap munculnya kembali peningkatan kasus harus ditingkatkan. Apalagi, mobilitas masyarakat juga sudah semakin meningkat, seiring pelonggaran aturan seperti dibukanya pusat perbelanjaan, tempat wisata dan fasilitas publik lainnya. Bahkan, sekolah-sekolah juga sudah menggelar pembelajaran tatap muka meskipun secara terbatas.
Epidemiolog Dicky Budiman secara konsisten terus mengingatkan masyarakat di Tanah Air untuk mewaspadai bahaya ancaman COVID-19 gelombang ketiga jika lengah atas penurunan kasus yang terjadi saat ini.
"Masyarakat dan pemerintah harus hati-hati dalam menanggapi penurunan kasus COVID-19 saat ini," kata epidemiolog dari Griffith University Australia dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Capaian vaksinasi yang belum melebihi angka 50 persen dari seluruh penduduk Indonesia menjadi alasan kuat untuk tidak lengah. Sehingga, kegiatan yang berpotensi menyebabkan peningkatan kasus harus betul-betul dihindari.
Masyarakat juga diminta tidak terlalu cepat merayakan penurunan kasus COVID-19. Rencana untuk menggelar acara atau kegiatan yang mengumpulkan banyak orang sebaiknya dihindari, mengingat Indonesia masih dalam bayang-bayang terjadinya gelombang ketiga lonjakan kasus COVID-19.
"Protokol kesehatan dalam satu kegiatan bukan barang ajaib atau jaminan. Protokol kesehatan akan berfungsi efektif ketika data-data atau indikator memang sudah kuat," ucap Dicky.
Indikator tersebut yakni testing, tracing dan treatment (3T). Jika hal tersebut telah diterapkan dengan baik, barulah protokol kesehatan itu kuat. Kalau masih sekadarnya, risiko lonjakan kasus akan terbuka lebar.
Contoh nyata adalah temuan kasus saat pembelajaran tatap muka (PTM) digelar di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan daerah lain. Hal tersebut menjadi salah satu bukti ancaman COVID-19 gelombang ketiga bisa saja terjadi di Tanah Air jika masyarakat abai. Kondisi itu akan semakin rumit lantaran sudah dibukanya tempat-tempat umum, misalnya mal atau pusat perbelanjaan.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Profesor Wiku Adisasmito juga menegaskan bahwa vaksin tidak dapat menjadi satu-satunya tameng dalam menghadapi pandemi. Terutama lagi jika vaksinasi hanya dosis pertama dan tidak dibarengi kepatuhan protokol kesehatan tidak dapat menjamin lonjakan kasus untuk tidak terjadi lagi.
Belajar dari pengalaman negara-negara dengan cakupan vaksinasi dosis pertama yang tertinggi di dunia, yaitu Singapura 79 persen, Finlandia 73 persen, Inggris 71 persen, Jepang 66 persen, dan Amerika serikat 63 persen, yang nyatanya lonjakan kasus masih dapat terjadi.
Dengan adanya lonjakan kasus di berbagai negara dengan cakupan vaksinasi yang tinggi, maka Indonesia tidak boleh semata-mata bergantung pada efek vaksinasi untuk mencapai target endemi COVID-19."Penting untuk dipahami bahwa target vaksinasi pada masa pandemi adalah untuk membentuk kekebalan kelompok," ujar Profesor Wiku menegaskan.
Dan, kekebalan kelompok itu baru dapat terbentuk dengan sempurna apabila seluruhnya telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap. Jadi, sebaiknya masyarakat yang berada di wilayah zona kuning jangan berpuas diri dan merasa aman hanya dengan vaksin, terutama jika hanya vaksin dosis pertama.(*)