Jakarta (ANTARA) - Atlet panahan Indonesia Riau Ega Agatha Salsabila bisa bernapas lega karena tidak perlu khawatir lagi terkait masa depannya sebagai seorang atlet ataupun ketakutan diperlakukan “habis manis sepah dibuang” ketika sudah pensiun nanti karena dukungan dan perhatian pemerintah saat ini dinilai sudah jauh lebih baik.
“Sebelumnya khawatir, tapi sekarang perhatian pemerintah sudah besar sekali kepada kami para atlet, jadi beban itu sedikit berkurang, dan kami bisa berpikir lebih maju ke depan,” ungkap Ega saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Ega memang bukan salah satu penerima bonus miliaran rupiah dari pemerintah karena ia belum berhasil menyumbangkan medali di Olimpiade Tokyo.
Namun ia mengaku tak menyangka bisa ikut kecipratan meski gagal membawa pulang medali. Untuk pertama kalinya, pemerintah memberikan penghargaan kepada seluruh atlet non-peraih medali sebesar Rp100 juta.
Bonus Olimpiade dan bonus-bonus lainnya yang mengalir ke dalam kantongnya, menurut Ega, akan sangat membantu dia untuk mempersiapkan masa depan ketika sudah tidak lagi menjadi atlet.
Tak hanya mengandalkan bonus, atlet berusia 29 tahun itu juga mengatakan punya banyak opsi jika ia memutuskan pensiun nanti, mulai dari menjadi wirausaha hingga pelatih karena pemerintah, menurutnya, juga siap membantu para atlet agar memiliki kompetensi pada bidang tertentu.
“Kami sebagai atlet dulu kan bingung kalau sudah pensiun mau jadi apa. Mau jadi pelatih harus belajar dulu untuk kompetensinya apalagi kalau mau jadi wirausahawan. Tapi sekarang kami masih jadi atlet pun sudah bisa belajar. Pemerintah juga membantu untuk meningkatkan kompetensinya. Jadi kalau kami sudah pensiun sebagai atlet, kami sudah punya bekal mau jadi apa nanti,” kata peraih perunggu Asian Games 2018 itu.
Apabila perhatian pemerintah terhadap atlet bisa terus seperti saat ini, atau bahkan meningkat, atlet yang juga pernah tampil di Olimpiade Rio 2016 itu yakin akan semakin banyak generasi muda berminat menjadi atlet. Atlet tidak akan lagi dipandang sebelah mata, melainkan sebagai sebuah profesi yang menjanjikan masa depan cerah.
“Mungkin ke depannya pemerintah bisa menempatkan atlet sebagai profesi yang diakui, seperti yang terjadi di luar negeri. Jadi anak-anak lain punya banyak opsi.”
Upaya untuk menggaet anak muda agar mau menekuni cabang olahraga prestasi telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang selalu menggelontorkan bonus bagi para atlet peraih medali dalam Olimpiade. Nominalnya cenderung bertambah dari satu edisi ke edisi berikutnya.
Pada Olimpiade Rio de Janiero 2016 saja, pemerintah berani menggelontorkan bonus dengan nilai yang fantastis, yakni Rp5 miliar untuk peraih emas, Rp2 miliar untuk peraih perak dan Rp1 miliar untuk peraih perunggu.
Nominalnya naik Rp500 juta kepada peraih medali di Olimpiade Tokyo. Indonesia bahkan masuk dalam jajaran dari 13 negara yang memberikan bonus tertinggi kepada para atlet peraih medali di ajang Olimpiade. Indonesia berada di posisi kelima di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara.
Bonus itu diberikan semata sebagai bentuk penghargaan dan ganjaran pemerintah atas kerja keras atlet. Tak hanya itu, bonus fantastis itu juga diharapkan dapat menjadi suntikan semangat dan memacu insan olahraga di Tanah Air, untuk terus berprestasi mengharumkan nama bangsa di pentas dunia.
Lebih dari itu, guyuran bonus miliaran rupiah juga diharapkan bisa membuat banyak anak muda mulai melirik olahraga sebagai profesi yang menjanjikan. Belum lagi, penghasilan tambahan dari sponsor, kerja sama eksposur, brand ambassador dan bintang iklan.
Jika ada atlet berprestasi yang kemudian hidupnya terkatung-katung dan kesulitan setelah bergelimang uang, umumnya adalah karena ketidakmampuannya dalam mengelola keuangan.
Berdasarkan hasil studi sebuah majalah Amerika Serikat Sports Illustrated, ada sekira 60 persen pemain National Basketball Association (NBA) yang bangkrut atau mengalami kesulitan finansial setelah lima tahun pensiun karena mereka tidak bisa mengelola keuangan dengan baik saat masih aktif menjadi atlet.
Pebulu tangkis Anthony Sinisuka Ginting menyadari kondisi serupa bisa saja menimpa sebagian atlet Indonesia. Anthony yang menerima bonus miliaran rupiah berkat raihan perunggu di Olimpiade Tokyo itu mengaku sangat bersyukur karena perhatian pemerintah terhadap atlet sangat baik.
Anthony sadar betul ia tidak akan bisa selamanya menjadi atlet karena setiap atlet memiliki usia emasnya masing-masing. Ia pun berencana menggunakan setiap bonus yang mengalir ke dalam sakunya untuk mempersiapkan hari tua agar tidak sengsara di pengujung usia.
“Kalau di bulu tangkis mungkin di umur 30-32 tahun sudah banyak yang pensiun. Jadi, (bonus) ini salah satu nilai tambah buat kami karena kami harus mempersiapkan hari tua,” tutur Anthony.
Atlet disabilitas tak dilupakan
Tak hanya peraih medali di Olimpiade, bonus miliaran rupiah juga diberikan kepada atlet-atlet disabilitas yang berprestasi di Paralimpiade. Ini dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk menyetarakan posisi antara olahraga disabilitas dan non-disabilitas.
Posisi kesetaraan kedua kategori cabang olahraga tersebut bahkan dipertegas dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang telah digodok Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dalam setahun terakhir.
DBON diluncurkan Presiden Joko Widodo tepat pada peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-38 pada 9 September.
“Dalam DBON, sasaran utama kita adalah Olimpiade dan Paralimpiade. Saya menegaskan di dalam DBON ini kami memberi ruang yang sama antara cabang Olimpiade dan Paralimpiade, jadi tidak ada perbedaan lagi antara dua itu. Pemerintah memberikan kesempatan dan fasilitasi sama,” ujar Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali.
Pemerintah bertekad tak akan membeda-bedakan apresiasi dan fasilitasi antara atlet disabiltas dan non-disabilitas karena mereka sama-sama berprestasi mengharumkan nama bangsa dan negara.
Ketua Umum Komite Paralimpiade (NPC) Indonesia Senny Marbun mengaku sangat merasakan kesetaraan itu. Dia mengapresiasi perhatian Presiden Joko Widodo sehingga kontingen Indonesia bisa kembali membawa pulang medali emas di Paralimpiade setelah penantian 41 tahun.
Senny mengatakan bahwa sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tidak ada lagi diskriminasi perhatian pemerintah pusat terhadap atlet disabilitas dan non-disabilitas.
Pembinaan atlet untuk cabang olahraga Paralimpiade dan Olimpiade diperlakukan setara, termasuk fasilitasi pelatnas, dukungan mengikuti kejuaraan internasional, bonus, hingga jaminan pengangkatan menjadi PNS.
“(Perhatian pusat) luar biasa. Ini juga merupakan hasil dari pemerintah pusat. Di era Jokowi ini luar biasa karena hanya Presiden Jokowi yang berani menyetarakan harga kami dengan non-disabilitas,” ujar Senny.
Senny menuturkan berkat perlakuan setara itu, para atlet disabilitas makin percaya diri untuk memberikan penampilan maksimal di berbagai kejuaraan, baik single event maupun multievent internasional.
Di tengah keterbatasan, para atlet nyatanya mampu mengharumkan nama bangsa dan negara layaknya para atlet non-disabilitas yang telah berlaga di Olimpiade.
“Dengan fisik kami yang seperti ini, kami diberi kepercayaan oleh negara untuk ikut mengharumkan bangsa ini. Jadi, kami makin percaya diri karena pemerintah memberi dukungan yang luar biasa,” ucapnya.
Hal senada disampaikan peraih dua medali emas dan satu perak di Paralimpiade Tokyo 2020 Leani Ratri Oktila. Dia mengaku sangat merasa dihargai karena pemerintah tidak membeda-bedakan antara atlet disabiitas dan non-disabilitas.
“Kami sudah merasakan kesetaraan, dan semoga ini terus berjalan,” kata dia.
Menpora Zainudin juga sebelumnya telah berjanji bahwa pemerintah tak akan membeda-bedakan jumlah bonus yang diberikan kepada atlet yang berlaga di Olimpiade dan Paralimpiade.
Jika tidak ada perbedaan, maka Leani diperkirakan bakal mengantongi bonus hingga Rp13,5 miliar berkat raihan dua emas dan satu perak di Tokyo.
Akan tetapi, berapa pun bonus yang mengalir dalam kantong, para atlet sudah seharusnya melakukan perencanaan keuangan yang baik dan benar agar tetap bisa hidup sejahtera saat sudah pensiun nanti.
Meski sebetulnya, sejak 2016, beberapa atlet berprestasi juga telah mendapat jaminan berupa pengangkatan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) oleh pemerintah.
“Jadi, sudah tidak ada alasan untuk orang tua takut anaknya menjadi seorang atlet,” ucap Leani. (*)