Surabaya (ANTARA) - Anggota Dewan Energi Nasional Herman Daniel mengatakan Indonesia tidak perlu tergesa-gesa melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan, karena belum mencapai puncak penggunaan energi seperti negara di Eropa dan Amerika.
"Meski proses tetap dilakukan, pembangkit fosil jangan serta merta dimatikan sebelum ada sumber lain yang jelas terbukti," kata Herman, dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, Kamis.
Ia mengatakan saat ini Indonesia masih membutuhkan berbagai pembangkit, termasuk PLTU batu bara demi menggerakkan perekonomian nasional, sampai ada sumber energi yang bisa menggantikan pasokan dari pembangkit saat ini.
"Oleh karena itu, Indonesia jangan buru-buru berencana menghentikan operasi pembangkit sekarang. Jangan sampai terjebak. Sudah terlanjur mematikan PLTU, ternyata pembangkit EBT tidak siap,” kata dia.
Ia mengingatkan, pembangkit fosil masih mendominasi pasokan energi di Eropa dan Amerika. Meski naik, pembangkit EBT masih rendah kontribusinya dalam penyediaan energi di Eropa dan Amerika.
Penyebab utama kondisi itu adalah sifat intermitten pembangkit EBT.
Pembangkit surya dan angin yang disebut paling efisien dibanding EBT lain, tidak bisa terus menerus tersedia.
"PLTS hanya bisa menghasilkan daya jika mendapat sinar matahari memadai. Sementara polusi, iklim dan siklus siang-malam membuat sinar matahari tidak bisa terus tersedia. PLTB pun kurang lebih sama," katanya.
Ia mengatakan, dunia saat ini lebih membutuhkan teknologi baru untuk meningkatkan kemampuan baterai menyimpan energi, dan jika kapasitasnya bisa ditingkatkan, maka persoalan ini bisa diselesaikan.
Herman juga mengakui, sulit mengelakkan RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Beberapa klausul dalam RUU itu memicu tudingan tersebut.
Ia mengaku mendengar sejumlah pihak menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi. Caranya, dengan membuat regulasi yang sesuai kepentingan mereka.
“Soal aturan wajib beli (listrik dari IPP EBT), tidak perlu. Karena itu perlu perencanaan permintaan dan pasokan. Perlu perizinan pembangunan pembangkit,” ujarnya.
Perencanaan, kata dia, harus cermat dan jelas berapa kebutuhan dan berapa yang akan dibangun. Hal itu berlaku untuk berbagai jenis energi.
Ia menyebut, sampai sekarang Indonesia belum punya daftar lengkap sumber pasokan dan kelayakan penggunaannya. Ketiadaan daftar itu membuat Indonesia sulit membuktikan klaim kaya sumber energi.
“Kalau bisa, lengkap di mana letaknya, berapa potensinya berdasarkan studi kelayakan, bagaimana skala keekonomiannya,” ujarnya.
Di negara lain, sudah ada perencanaan kebutuhan. Untuk pemenuhannya, dibuka kompetisi pemasok secara transparan. Di Indonesia, ada peluang sebaliknya. “Saya tidak setuju jika pemerintah melakukan itu,” ujarnya.