Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Ahli Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) Prof. Dr Sri Andarini mengemukakan kondisi pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) kurang mendukung kegiatan dan upaya promotif, karena masih didominasi pelayanan kuratif.
"Pelayanan kesehatan di FKTP masih didominasi pada pelayanan kuratif dan masih kurang dukungan untuk melakukan kegiatan promotif, preventif, dan rehabilitatif," kata Prof Andarini di Malang, Jawa Timur, Minggu.
Ia mengatakan saat ni biaya pelayanan kesehatan masih relatif tinggi untuk tata laksana kuratif dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan, termasuk masalah obesitas.
Di era Universal Health Coverage (UHC) yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), saat ini sudah diikuti oleh lebih kurang 80 persen penduduk Indonesia, kondisi ini tidak akan berjalan dengan baik jika sistem pelayanan kesehatan masih didominasi pelayanan kuratif tanpa diperkuat kegiatan promotif, preventif dan rehabilitatif.
Oleh karena itu, lanjutnya, pendekatan kedokteran keluarga melalui peran dokter keluarga sebagai "gatekeeper" pelayanan kesehatan harus didukung dan berbenah dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Penyelesaian masalah obesitas dapat dilakukan dengan pendekatan kedokteran keluarga melalui prinsip-prinsip holistik komprehensif, berkesinambungan, koordinasi dan kolaborasi, berorientasi pada pencegahan, dalam tatanan individu, keluarga dan komunitas.
Prinsip holistik, artinya penyelesaian masalah tidak hanya ditinjau dari faktor biologi, tapi juga ditinjau dari demensi psikologis, sosial, lingkungan serta berorientasi pada keluarga dan komunitasnya.
Untuk memaksimalkan peran dokter keluarga, katanya, perlu dibuat modul-modul penatalaksanaan obesitas menggunakan pendekatan kedokteran keluarga yang bertujuan untuk memudahkan dokter, penderita obesitas dan masyarakat memahami dan melaksanakan program intervensi obesitas.
Papua
Menurut Andarini, obesitas merupakan penyakit kronis dengan prevalensi yang terus meningkat di seluruh dunia, termasuk Indonesia dan akan meningkatkan beban ekonomi bagi masyarakat yang cukup besar.
"Riset Kesehatan Dasar (RKD/Riskesdas) menunjukkan setiap tahun terjadi peningkatan prevalensi obesitas dari 10,5 persen pada tahun 2007 menjadi 14,8 persen pada tahun 2013 dan menjadi 21,8 persen di 2018," katanya.
Ia mengatakan obesitas sentral juga mengalami peningkatan cukup tinggi dari 18,8 persen pada 2007 menjadi 26,6 persen pada 2013, dan menjadi 31 persen pada 2018.
Andirini mencontohkan di Kota Malang, prevalensi kejadian kelebihan berat badan menurut jenis kelamin didapatkan angka obesitas pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu 15,70 persen overweight dan 33,78 persen, sedangkan obesitas pada laki-laki 12,98 persen mengalami overweight dan 13,71 persen mengalami obesitas.
Obesitas dapat dideteksi dengan beberapa macam metode, yaitu melalui pengukuran standar berat badan, tabel tinggi badan dan berat badan, indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, ratio lingkar pinggang dan lingkar panggul.
Selain itu, juga dapat dideteksi melalui skinfoldcaliper atau menggunakan peralatan yang lebih maju termasuk computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) and dual energy X-ray absorption.
Indeks massa tubuh, yaitu perbandingan antara berat badan dalam satuan kilogram dan tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan.
Lingkar perut digunakan untuk menentukan obesitas sentral (android), yaitu suatu keadaan dimana penimbunan lemak terjadi secara berlebihan dan jauh melebihi normal di daerah perut. (*)
Ahli Kesehatan: Pelayanan kesehatan di FKTP masih didominasi pelayanan kuratif
Minggu, 9 Mei 2021 16:55 WIB