Jakarta (ANTARA) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan seaglider bisa digunakan untuk pengumpulan data oseanografi secara otonom dan mendukung riset di bawah permukaan laut.
"Alat ini adalah seaglider untuk pengamatan vertical profiling (profil vertikal) data oseanografi secara autonomous (otonom)," kata Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR) BPPT Wahyu W Pandoe kepada ANTARA, Jakarta, Selasa.
Data-data di bawah permukaan laut yang dikumpulkan antara lain berupa kedalaman, suhu, dan arus.
Seaglider dengan panjang 2,25 meter dan memiliki dua sayap yang masing-masing berukuran 0,5 meter ditemukan di perairan Desa Majapahit Kecamatan Pasimarannu Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan pada 26 Desember 2020 pukul 07.00 WITA dalam kondisi mengapung di permukaan laut.
Dari foto-foto penemuan seaglider tersebut, Wahyu menuturkan payload seaglider hanya berupa sensor-sensor oseanografi dan akustik, seperti sensor CTD, chlorophyl fluorometer, dan acoustic doppler current profiler (ADCP).
"Mungkin setelah dibongkar bisa kita identifikasi sensor apa saja yang terpasang," ujarnya.
Parameter yang diukur oleh peralatan CTD terutama profil vertikal untuk salinitas, temperatur, densitas, dan kandungan oksigen (jika sensor oksigen terpasang). Sedangkan alat ADCP mengukur arus 3D (u, v, w).
Untuk penelitian, data-data tersebut sangat diperlukan untuk memantau perubahan parameter salinitas, suhu dan densitas secara vertikal dan horizontal.
Data itu berkaitan dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang terkait dengan predecessor perubahan iklim, daerah penangkapan ikan, iklim maritim, termasuk prediksi penguatan musim El-Nino dan La-Nina. Dan La Nina sedang terjadi saat ini.
Untuk sistem pertahanan, Wahyu mengatakan adanya layer thermocline (perubahan temperatur yang ekstrem terhadap kedalaman) di lapisan antara permukaan hingga 200-an meter sangat membantu pergerakan kapal selam di bawah thermocline, atau dikenal dengan istilah shadow zone.
Adanya layer thermocline dapat menjadi bidang pantul gelombang akustik yang dipancarkan dari kapal permukaan, sehingga pergerakan kapal selam di bawah lapisan thermocline sulit terdeteksi.
Thermocline tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi laut OTEC (ocean thermal energy conversion) atau konversi energi termal lautan sebagai sumber energi baru terbarukan dari laut di masa depan.
Wahyu menuturkan ada dua jenis yaitu seaglider dan argo float. Kedua jenis itu tidak mempunyai propulsi, dan bekerja sinking-floating (tenggelam-mengambangnya) hanya berdasarkan buoyancy (kemampuan mengapung).
Secara praktis, argo float tidak bergeser terlalu jauh dari peletakan awal (initial deployment), kecuali kalau terseret arus. Seaglider juga demikian, tetapi dengan flap-nya bisa "riding" arus lebih efektif, dan bisa diarahkan dengan mengatur sudut kemiringan dari flapnya (kiri dan kanan.
Wahyu menuturkan pada waktu lalu, mitra kerja sama penelitian Perancis juga pernah melaporkan argo float yang masuk ke Selat Makassar.
Umumnya seaglider tidak punya propulsi dan bekerja sinking-floating-nya hanya berdasarkan buoyancy yang bisa diatur motor and reciprocating hydraulic pump.
"Versi terkini ada juga yang menggunakan propulsi agar lebih efisien dalam mengarahkan gerakan glider ini," tuturnya.
Alat tersebut sudah dikembangkan di negara-negara maju sejak awal tahun 2000-an, dan saat ini sudah banyak yang ikut mengembangkan peralatan itu, termasuk China. (*)
BPPT: Seaglider untuk pengumpulan data oseanografi
Selasa, 5 Januari 2021 12:56 WIB