Pamekasan (ANTARA) - Berjabat tangan dengan orang tua, keluarga, dan teman saat baru bertemu menunjukkan nilai-nilai kebaikan, keakraban dan ketulusan, serta mencerminkan ungkapan kasih sayang. Sebab sentuhan fisik yang digambarkan dengan berjabatan tangan, bahkan saling berpelukan itu, di satu sisi adalah menunjukkan keakraban hubungan.
Gambaran umum bahwa sentuhan fisik menunjukkan keakraban hubungan ini sering terwujud dalam berbagai momen penting. Dalam konteks hubungan negara bangsa misalnya, pandangan yang berkembang dan menjadi kebenaran umum, apabila pimpinan dari dua negara bisa saling berjabat tangan, berpelukan yang dipertontonkan kepada khalayak.
Visualisasi dari peristiwa yang menunjukkan bahwa sentuhan fisik menggambarkan kedekatan hubungan, misalnya bisa dengan mengambil contoh saat Raja Salman dari Arab Saudi melakukan kunjungan ke Indonesia belum lama ini.
Publik di negeri ini mengambarkan bahwa Indonesia memiliki hubungan baik, bahkan akrab dengan Arab Saudi, saat berbagai media massa menyorot bagaimana gestur kedua pimpinan negara tersebut.
Keduanya (Raja Salman dan Presiden Joko Widodo) seolah menyampaikan sinyal kepada publik di nusantara dan dunia bahwa antara Indonesia dengan Arab Saudi memiliki hubungan baik, akrab dan siap bekerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua negara tersebut.
Dalam konteks budaya dan tradisi Islam, nilai-nilai kebaikan melalui sentuhan fisik juga tidak jauh berbeda. Berjabat tangan dengan teman, sanak keluarga dan kerabat, serta mencium tangan orang tua, merepresentasikan nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang.
Pesan moral kuat dalam ajaran agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ini misalnya, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis yang menyatakan, Ridhallah fi ridhal walidaini, wasuhtullah fi suhtil walidaini. Artinya, ridha Allah SWT itu bergantung pada ridho kedua orang tua, dan murka Allah bergantung pada murka kedua orang tua.
Wajar, apabila setiap Idul Fitri menjadi momen yang istimewa dalam melestarikan nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang tersebut. Warga yang tinggal dan bekerja di perantauan biasa, bahkan seolah menjadi kewajiban untuk meluangkan waktu pulang ke kampung halamannya untuk sekadar bersalaman dan meminta maaf kepada keluarga serta orang tua mereka di kampung. Dalam pandangan umum, mengabaikan momentum silaturahim saat Idul Fitri adalah sama halnya dengan abai dalam menjaga pola hubungan baik dengan sanak famili dan kerabat, terutama kepada orang tua di kampung halamannya.
Dengan demikian, bertemu fisik secara langsung seolah merupakan keharusan, sebagai wujud kasih sayang dan kecintaan kepada sanak keluarga, kerabat, teman, dan orang tua yang tinggal nun jauh di sana.
Hanya saja, nilai baik dan benar ini tentu tidak selamanya baik, apabila hadir dalam ruang dan waktu yang berbeda, serta 'illat' atau penyebab yang berbeda pula.
Pandemi virus corona (COVID-19) yang melanda Indonesia dan sejumlah negara di berbagai belahan dunia telah mengharuskan bagi umat manusia menggeser hal-hal yang disebut baik dan benar dalam sebuah peradaban dan tradisi baru yang disebut dengan new normal atau kehidupan normal baru.
Jika dalam kehidupan normal bertemu fisik, bersalaman dengan orang tua untuk sekadar meminta maaf merupakan nilai-nilai baik, dalam kehidupan normal baru justru bertemu secara fisik berpotensi mendatangkan mudharat dan kedekatan seperti berpelukan tak mengandung bernilai baik.
Sebab di era normal baru akibat pandemi COVID-19 ini, bersentuhan fisik berarti sama dengan membuka ruang untuk menularkan virus corona bagi orang-orang yang ditemuinya. Jadi, nilai kebaikan sebelumnya, sudah tidak sama lagi, bahkan berbanding terbalik dengan nilai kebaikan dan kebenaran di era normal baru saat ini.
Menjaga jarak fisik dan sosial, serta selalu menggunakan masker ketika keluar rumah, menjadi titik tekan bahkan prasyarat mutlak yang harus dilakukan pada era normal baru ini, guna mencegah terjadi penularan virus dengan orang lain yang dalam kehidupan normal menjaga jarak dan menggunakan masker dianggap kurang baik, karena dinilai tidak menghargai pola komunikasi dengan orang lain.
Namun demikian, tidak berarti perubahan nilai dari perilaku yang dianggap baik pada era normal dan berubah saat era normal baru semuanya akan berubah, karena substansi perubahan itu tetap pada kebaikan dan kebenaran.
Prinsip almuhafadhotu alal qodimis sholeh wal ahdu biljadidil ashlah atau tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang baik adalah pengan yang perlu tetap dipertahankan.
Memang membutuhkan penyesuaian dan pola pikir yang luas untuk bisa menerima perubahan budaya dan tradisi baru ini dengan menjadikan prinsip teologis sebagai pondasi, yakni segala sesuatu itu akan mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri. (*)
Peradaban baru di era pandemi COVID-19
Minggu, 31 Mei 2020 20:36 WIB