Surabaya (ANTARA) - Provinsi Jawa Timur pada Kamis (28/5) kembali menduduki peringkat pertama data sebaran COVID-19 secara nasional dengan mencatatkan 171 kasus pasien positif, menggeser posisi DKI Jakarta yang kini berada di posisi ketiga dengan 105 kasus, setelah Kalsel di posisi kedua dengan 116 kasus.
Tingginya data sebaran kasus positif di Jatim ini bukanlah kali pertama terjadi, sebab provinsi di ujung timur di Pulau Jawa tersebut juga pernah mencapai puncak data sebaran kasus positif sebelumnya, yakni pada 23 Mei 2020 dengan 466 kasus, disusul DKI Jakarta di posisi kedua 115 kasus.
Selalu ada alasan dibalik tingginya data sebaran positif di provinsi yang kini dipimpin oleh gubernur perempuan itu. Sebut saja di Kabupaten Gresik yang selama dua hari beruturut-turut mengalami kenaikan data signifikan.
Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Gresik drg Saifudin Ghozali mengatakan dalam kurun dua hari yakni Kamis (21/5) dan Jumat (22/5) kenaikan pasien positif di wilayahnya rata-rata di atas 25 orang. Jika pada Kamis (21/5) ada penambahan 27 orang positif terpapar virus corona, maka Jumat (22/5) bertambah 29 pasien.
Saifudin yang juga menjabat Kepala Dinas Kesehatan Gresik itu beralasan, kenaikan data signifikan itu karena telah menggelar tes cepat secara massal, sehingga kasus terkonfirmasi positif naik drastis.
Ia mengklaim telah melakukan sekitar 3.500 kali tes cepat dengan tujuan untuk menyelesaikan klaster-klaster besar atau pusat sebaran awal pasien positif yang ada di Gresik, seperti Klaster Sampoerna, Klaster Surabaya, Klaster Pelayaran, dan Klaster Pabean.
Alasan yang sama disampaikan Wali Kota Surabya Tri Rismaharini yang wilayahnya menjadi penyumbang kasus tertinggi di Jatim.
Wali Kota yang sangat populer ini menjelaskan, tingginya angka kasus COVID-19 di Ibu Kota Provinsi Jawa Timur pada Kamis (21/5) yang mencapai 311 orang positif itu sebagai dampak dari rapid test atau tes cepat secara masif.
"Kenaikan ini karena kita masif melakukan rapid test dan kemudian kalau reaktif ditindaklanjuti dengan pemeriksaan swab," kata Risma saat rapat evaluasi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bersama jajaran kepolisian dan TNI di Graha Sawunggaling, Surabaya.
Dua alasan ini seolah menyiratkan pesan bahwa ketika ada data di suatu daerah landai, belum tentu data itu nyata adanya, jikalau daerah setempat belum melakukan tes cepat massal. Sebab, klaim dari dua daerah itu bahwa ukuran sebenarnya data COVID-19 adalah setelah dilakukan tes massal, sehingga alasan ini masuk akal karena acuan yang disampaikan adalah berbasis data.
Namun demikian, bisa saja data yang muncul di Jatim adalah data permukaan, sebab kegiatan tes massal tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang ada. Artinya, bisa juga data yang muncul merupakan fenomena gunung es, yang hanya terlihat di permukaan, namun sebenarnya lebih banyak.
Utak-atik data inilah yang sebenarnya membuat data sebaran COVID-19 di Indonesia tidak nyata adanya, sebab jikalau ingin sempurna dan menunjukkan data sebenarnya, maka setiap satu penduduk wajib menjalani rapid test, sehingga akan muncul ke permukaan data asli COVID-19. Namun pertanyaanya apakah pemerintah sanggup melaksanakan?.
COVID-19 adalah musuh yang tidak nyata terlihat atau tidak kasat mata, sehingga perang melawan COVID-19 tidak sama seperti perang melawan pasukan tempur di medan perang.
Seperti prinsip budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun; "kita manusia lebih banyak tidak tahunya daripada yang kita ketahui", baik mengenai alam atau pun mengenai makhluk super mikro yang bernama COVID-19.
Rumus kurva
Beberapa pengamat mengaku optimistis bahwa setelah grafik atau kurva sebaran COVID-19 naik tinggi, akan terus melandai dan turun, itulah sebuah rumus kurva sesuai dengan pengalaman-pengalaman terdahulu.
Namun tunggu dulu, optimisme itu boleh tapi perlu didukung dengan sikap istiqomah atau konsistensi diri yang tinggi, sebab jikalau hanya bersandar pada rumusan yang dibuat ahli tanpa adanya tanggung jawab diri, maka nol hasilnya.
Sebab, makhluk yang bernama COVID-19 ini juga telah mematahkan rumusan yang dibuat oleh manusia selama ini, yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, namun kini wajib menjadi makhluk individual, dalam artian ruang kecil keluarga atau golongan. Artinya, sosial yang digencarkan selama ini harus berbalik menjadi individual.
Oleh karena itu, optimisme yang juga disampaikan Presiden Joko Widodo perlu didukung dengan upaya mendisiplinkan diri. Bahkan pemerintah telah mengerahkan TNI dan Polri secara lebih masif untuk mengajak masyarakat mematuhi protokol kesehatan, seperti yang diatur dalam pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Presiden Jokowi di Jakarta mengatakan bahwa kemampuan penularan COVID-19 yang diukur dari Reproduction Number (RO) di beberapa provinsi di Indonesia telah menurun ke bawah 1. Artinya tingkat penularan virus atau bakteri cukup rendah. Namun jika R0 di atas 1, maka berarti tingkat penularan masih kategori tinggi. Misalnya jika R0=2, berarti satu orang yang terpapar COVID-19 berpotensi menularkan virus ke dua orang sehat lainnya.
"Kita melihat bahwa R0 dari beberapa provinsi sudah di bawah 1. Dan, kita harapkan semakin hari akan semakin turun dengan digelarnya pasukan dari TNI dan Polri di lapangan secara masif," kata Presiden saat meninjau pendisplinan protokol kesehatan dan PSBB di Stasiun MRT Bundara Hotel Indonesia, Jakarta. (*)