Surabaya (ANTARA) - Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Selasa (21/4) telah menyetujui pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Gresik. Persetujuan itu turun hanya selang sehari setelah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengirimkan surat pengajuan.
Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik menyusul beberapa kota/kabupaten lain di sejumlah provinsi yang sudah lebih dulu memberlakukan PSBB. Kebijakan memberlakukan PSBB demi mencegah meluasnya penyebaran virus corona atau COVID-19, terutama pada daerah-daerah yang jumlah kasusnya sudah makin banyak dan penyebarannya meluas.
Hingga Rabu (22/4), secara nasional berdasarkan data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus positif, yakni 637 kasus. Urutan pertama DKI Jakarta dengan 3.379 kasus dan Jawa Barat 762 kasus.
Dari 637 kasus di Jawa Timur, hampir separuh terkonsentrasi di Kota Surabaya yang terdata 315 kasus. Sedangkan di Kabupaten Sidoarjo tercatat 66 kasus dan Kabupaten Gresik ada 21 kasus. Jumlah kasus positif berpotensi meningkat, seiring banyaknya pasien dalam pengawasan (PDP) dan juga orang dalam pemantauan (ODP). Belum lagi mereka yang tanpa gejala atau OTG (orang tanpa gejala).
Pemberlakuan PSBB memunculkan konsekuensi pada pembatasan dan pengetatan aktivitas masyarakat yang memiliki potensi memicu kerawanan penyebaran virus corona. Misalnya, penghentian kegiatan belajar mengajar di sekolah (kebijakan ini sudah berjalan), pembatasan aktivitas layanan publik, transportasi, dan tempat makan, penghentian/pembatasan kegiatan perusahaan, dan penutupan wilayah tertentu yang dianggap sangat rawan.
Berkaca dari pemberlakuan PSBB di sejumlah daerah, rendahnya kesadaran masyarakat dan kurang tegasnya penegakan aturan dari aparat keamanan, menjadikan kebijakan tersebut tidak berjalan optimal. Banyak warga masih suka berkerumun atau bergerombol, tidak mengenakan masker saat berkegiatan di luar rumah, atau mengindahkan imbauan tetap tinggal di rumah. Belum lagi banyak pelaku usaha atau perusahaan yang melanggar aturan PSBB. Akhirnya, muncul plesetan PSBB adalah Pembatasan Sosial Basa-Basi. Diberlakukan, tapi pelaksanaannya terkesan setengah-setengah atau kurang serius.
Jauh sebelum ada PSBB, pemerintah pusat hingga daerah tidak pernah berhenti mengeluarkan imbauan terkait pencegahan penularan virus corona, seperti melakukan physical distancing, pakai masker jika keluar rumah, jaga kebersihan dengan sering cuci tangan, dan paling penting stay at home jika tidak ada kepentingan mendesak.
Tidak itu saja, spanduk dan baliho peringatan untuk masyarakat untuk menghindari virus corona juga banyak terpasang di berbagai lokasi. Isinya mulai peringatan yang biasa hingga bernada "mengancam". Misalnya, "ojo keluyuran ae, dipangan corona matek koen" (jangan keluyuran saja, dimakan corona mati kau). Ada lagi peringatan yang berbunyi: Sekarang ini pilihan tinggal tiga. Tinggal di rumah, tinggal di rumah sakit, tinggal kenangan (mati). Bahkan, aparat kepolisian di Banyuwangi berkeliling membawa keranda mayat saat menyosialisasikan bahaya virus corona. Tujuannya, mengingatkan warga soal bahayanya virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China, itu.
Toh, anjuran, imbauan, dan peringatan itu seperti angin lalu bagi sebagian masyarakat. Mereka tetap asyik berkerumun dan kongkow di kafe, warung kopi atau angkringan tanpa mengenakan masker. Para pedagang di pasar tradisional juga berkegiatan seperti biasa tanpa mempedulikan bahaya tertular virus corona. Ketika ada warga yang mengingatkan bukannya menurut, justru balik "menyerang". Dianggap sok tahu dan kayak dokter. Alamak.
Banyaknya jumlah orang yang terinfeksi virus corona, termasuk korban meninggal dunia, tidak membuat sebagian masyarakat khawatir, trauma, apalagi takut, kemudian membentengi diri agar tidak tertular.
Tentu kita tidak ingin wabah COVID-19 ini makin meluas hingga menimbulkan korban jiwa yang semakin besar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Spanyol, dan Italia. Di negara-negara maju yang tingkat kedisiplinan masyarakatnya sebenarnya cukup tinggi, wabah corona tetap sulit dibendung hanya karena ada sebagian dari mereka yang masih bandel. Bahkan, di Amerika Serikat, banyak juga warganya yang justru protes saat pemerintah menerapkan pembatasan sosial.
Virus corona ini tidak bisa "bergerak", tapi bisa berpindah-pindah dengan "menumpang" pada mobilitas orang. Ketika tidak ada pergerakan atau mobilitas orang dibatasi, potensi penyebaran virus akan menyempit dan bisa dicegah. Itulah salah satu tujuan awal dari pemberlakuan PSBB, memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Memang, ada beberapa kelompok masyarakat yang terkena dampak pemberlakuan PSBB. Seperti pekerja informal yang mengandalkan penghasilan harian, pemilik warung makan, tukang becak, tukang ojek, sopir angkot, dan buruh kasar. Sebelum ada PSBB atau sejak wabah corona merebak, mereka juga sudah terdampak.
Untuk mereka-mereka yang terdampak pandemik COVID-19 itu, pemerintah pusat dan daerah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk membantu meringankan beban kebutuhan harian. Pemprov Jatim mengalokasikan anggaran sekitar Rp2,3 trliun untuk penanganan corona termasuk dampak sosial ekonominya. Begitu pula Pemkot Surabaya, Pemkab Sidoarjo dan Gresik juga sudah menyiapkan anggaran serupa yang jumlahnya ratusan miliar rupiah.
Anggaran itu masih belum dari sumbangan instansi atau perusahaan swasta, BUMN, simpatisan, yayasan/lembaga sosial, organisasi kemasyrakatan, dan kelompok masyarakat atau individu yang nilainya tidak sedikit. Sifat gotong royong masih terlihat di masyarakat dalam situasi seperti sekarang. Mereka yang mampu atau berkecukupan membantu warga yang kekurangan atau lemah.
Begitu pun dalam melawan virus corona, masyarakat harus bersatu dalam bertindak dan bersikap. Slogan "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" sangat relevan diterapkan. Artinya, mari bersatu mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan COVID-19, termasuk saat PSBB diberlakukan. Jangan bercerai-berai dengan bersikap semaunya sendiri yang justru membuat lawan tidak terlihat bernama virus corona itu semakin meluas dan merajalela. (*)