Surabaya (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara Universitas Airlangga Surabaya Dwi Rahayu Kristianti MA mengemukakan pemerintah dan DPR perlu melibatkan masyarakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Dwi Rahayu Kristianti dikonfirmasi di Surabaya, Senin, mengatakan bahwa pelibatan masyarakat penting karena hingga saat ini RUU PKS masih menuai pro dan kontra, sehingga membuat DPR RI menunda pengesahaannya.
"Tujuan utamanya adalah jelas menciptakan paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual," kata dosen Fakultas Hukum Unair itu.
Draf RUU PKS membutuhkan waktu dua tahun hingga pada 2 September 2019 masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Dwi Rahayu menjelaskan, pada hukum acara lebih ditekankan untuk merangkul korban dan memerhatikan haknya. Namun, hal tersebut masih sangat bertolak belakang jika dilihat dalam DIM yang sebelumnya terdapat sembilan kekerasan seksual, dipadatkan kembali hanya menjadi empat kekerasan seksual.
"Penyusutan tersebut membuat adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh beberapa orang," ujarnya.
Menurut ia, penundaan pengesahan RUU PKS oleh DPR RI bukan urusan penting bagi negara, karena masih banyak RUU lain yang belum dibahas.
"Jika dilihat runtutan RUU yang diusulkan DPR RI, semuanya terhubung satu sama lain dalam agenda besar," ucapnya.
Hal tersebut menurutnya tidak sesederhana mempersalahkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo baik atau jahat. Semua RUU yang dibahas sebenarnya bukan perkara personal, tapi sudah struktural.
"Perlu diketahui bahwa RUU tentang Ketenagakerjaan yang direvisi oleh pemerintah banyak mendapat penolakan karena merugikan para buruh," tambah Dwi Rahayu.
"Terutama jika dilihat secara seksama RUU Ketenagakerjaan akan berkaitan dengan RUU PKS akan merugikan para buruh wanita," katanya dengan menambahkan adanya ketimpangan gaji dan perlakuan terhadap buruh perempuan masih banyak dijumpai.