Kediri (ANTARA) - Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Kediri, Jawa Timur, tidak ingin insiden kerusuhan di Jakarta, pada 22 Mei 2019 terulang lagi dan berharap sengketa pemilu bisa selesai di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Kediri Moch Salim mengatakan adanya kericuhan dilakuka sekelompok massa pada saat aksi 21-22 Mei.
Bahkan, kericuhan itu dinilai membuat sistem dan tatanan demokrasi menjadi kurang harmonis dan cenderung berakhir dengan tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok oknum perusuh tersebut.
"Gerakan pada 21-22 Mei itu bukanlah riil kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, akan tetapi lebih tepatnya adalah gerakan yang mengganggu keamanan dan biang kerok terjadinya kerusuhan melalui provokator yang sudah 'by design'," katanya di Kediri, Rabu.
Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, seperti bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan dalam berdemokrasi pun tetap di lindungi Undang-Undang. Diharapkan insiden kerusuhan itu tidak terjadi lagi.
Menurutnya, jika memang ada pihak yang merasa dirugikan dalam kontestasi Pemilu 2019 ini, dipersilakan melakukan upaya hukum yang lebih tinggi, karena merupakan hak setiap warga negara Indonesia.
Ia menambahkan aparat juga sigap dalam mengamankan aksi 22 Mei di Jakarta. Polisi/TNI juga menangani oknum perusuh/pembuat keonaran yang memperkeruh pesta demokrasi tersebut sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, sehingga prosesi Pemilu 2019 dapat berjalan dengan tertib dan kembali kondusif.
Lebih lanjut, ia mengatakan mendukung Polri dalam menindak tegas para perusuh dan mengusut aktor intelektualnya
"Ucapan terima kasih dan apresiasi kami berikan kepada aparat keamanan polisi dan TNI yang telah menjaga berjalannya pesta demokrasi ini dengan kondusif dan baik adalah suatu keharusan, serta mendoakan semoga aparat keamanan yang menjadi korban para perusuh cepat pulih dan dapat kembali bertugas menjaga NKRI," kata Salim.
FKUB Kediri tak ingin insiden 22 Mei terulang
Rabu, 29 Mei 2019 19:43 WIB
Gerakan pada 21-22 Mei itu bukanlah riil kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum