Surabaya (Antaranews Jatim) - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Dwi Purnomo menolak gugatan yang mengatasnamakan warga Eks-Lokalisasi Dolly kepada Pemerintah Kota Surabaya karena tidak memenuhi syarat formal gugatan "Class Action".
"Mengadili, menyatakan bahwa gugatan kelompok yang diajukan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima," kata hakim Dwi Purnomo, saat membacakan putusan di PN Surabaya, Senin.
Gugatan perdata yang diajukan "class action" warga eks-Lokalisasi Dolly-Jarak ke Pemkot Surabaya sebesar Rp Rp270 miliar ini tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai gugatan kelompok yang dilayangkan, tidak memenuhi syarat formal gugatan "class action" sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 tahun 2002.
"Syarat - syarat formal gugatan class action tidak terpenuhi untuk melakukan gugatan," katanya.
Di samping itu, hakim juga menegaskan bahwa penggugat dapat mengajukkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait keputusan pemkot Surabaya melakukan penutupan eks lokalisasi Jarak - Dolly.
"Untuk penutupan Dolly dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara," ucapnya.
Atas penolakan tersebut Naen Suryono mewakili pihak penggugat akan mengajukan perlawanan lewat upaya hukum kasasi.
"Kami akan melakukan perlawanan di tingkat kasasi. Tidak mungkin kami melakukan gugatan TUN atas penutupan Jarak -Dolly, sebab batas waktu gugatan TUN sudah jauh terlampaui yakni 90 hari setelah pemkot Surabaya melakukan penutupan Jarak - Dolly pada 2014 lalu," katanya.
Gugatan class action ke Pemkot Surabaya dan Satpol PP ini sebelumnya dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) pasca penutupan eks lokalisasi Jarak.- Dolly.
Warga menuntut agar Pemkot membayar ganti rugi Rp270 miliar kepada warga Jarak -Dolly sebab telah melakukan perampasan hak ekonomi masyrakat yang kehilangan mata pencaharian atau penurunan penghasilan, tanpa ada persiapan dan konsep peralihan sumber kehidupan masyarakat sekitarnya.
Demo
Sementara itu, di luar gedung PN Surabaya, massa yang mengatasnamakan warga Jarak- Dolly yang di dampingi oleh Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) menggelar demo di depan gedung Pengadilan.
Dalam tuntutannya, melalui Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) tidak ingin membuka prostitusi kembali di daerah Jarak Dolly. Mereka hanya menginginkan Pemkot Surabaya melakukan pemulihan ekonomi akibat ditutupnya bisnis prostitusi di area Dolly.
Menurut salah satu koordinator pendemo (KOPI), semua yang digembar gemborkan Pemkot Surabaya melalui Walikota Risma tidak terbukti sama sekali. Mulai dari industri rumahan batik, sepatu atau keripik tidak menyerap banyak pekerja.
"Tidak ada itu. Katanya home industri menyerap banyak warga. Ternyata hanya segelintir saja. Lha terus dana yang sudah digelontorkan dikemanakan," ujarnya dalam orasi.
Sementara, kubu warga Jarak-Dolly yang menolak prostitusi dibuka kembali yang di dampingi Banser dan GP Ansor dalam surat penolakan menyebutkan. Bahwa, gugatan yang dilayangkan 12 orang tersebut hanyalah untuk kepentingan pribadi penggugat. Terbukti dari 12 penggugat tersebut adalah pemilik usaha rumah karoke di daerah Jarak Dolly.
Menurut Supadi salah satu di daerah dolly mempertanyakan KTP para pendemo yang mengatasnamakan warga dolly tersebut.
"Coba sampean tanya mereka, KTP nya orang mana itu, kami semua tidak kenal. Orang luar semua itu," katanya.
Lebih lanjut Supadi mengatakan, industri rumahan di daerah Jarak-Dolly itu memang ada. Dan jumlahnya ditaksir sekitar 100 orang.
"Di dolly itu banyak home industrinya, hampir 100 orang tenaga kerjanya. Itu ketua home industrinya," katanya(*)