Surabaya (Antaranews Jatim) - Pemerintah Kota Surabaya membantah tenaga kontrak (honorer) atau alih daya (outsourcing) diperlakukan tidak manusiawi sebagaimana temuan dari salah satu pimpinan DPRD Surabaya beberapa hari lalu.
"Sistem penerimaan pendapatan untuk ASN (Aaparatur Sipil Negara) di jajaran Pemkot Surabaya berbasis kinerja, sehingga ASN dituntut untuk bekerja lebih giat jika ingin pendapatannya meningkat. Makanya, hal ini berbanding terbalik jika ASN Surabaya dikatakan bermalas-masalan sedangkan honorer bekerja berat," kata Kabag Humas Pemkot Surabaya, M. Fikser di Surabaya, Minggu.
Selain itu, Fikser juga membantah bahwa gaji yang diterima sekitar 1.863 honorer di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya rendah digaji karena sudah disesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar Rp3.583.312.
Bahkan, lanjut dia, mereka juga mendapatkan BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. "Jadi, saya kira kurang tepat jika honorer Pemkot Surabaya dibilang gajinya kecil, karena gajinya sudah disesuaikan dengan UMK Surabaya," katanya.
Menurut dia, dengan gaji UMK itu, maka para honorer diminta untuk bekerja sesuai dengan perjanjian surat kontrak yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya. Dalam surat kontrak itu, lanjut dia, biasanya dijelaskan tugas atau pekerjaan honorer karena hal itu juga berkaitan dengan kebutuhan Pemkot Surabaya dalam suatu bidang pekerjaan.
"Hak dan kewajiban seorang honorer itu sudah disepakati sebelum dia kerja, sehingga tidak ada yang memberatkan honorer itu dalam bekerja. Beban kerja berat itu relatif, tapi yang pasti pengaturan beban kerja di Pemkot Surabaya sudah diatur secara proporsional," ujarnya.
Hal itu juga berlaku dengan para ASN di jajaran Pemkot Surabaya. Apabila mereka bermalas-malasan dan pekerjaannya hanya sedikit, maka dipastikan pendapatannya pun akan sedikit, karena tunjangan bagi para ASN dihitung dari prestasi kerja.
Oleh karena itu, Fikser mengimbau kepada para masyarakat terutama para honorer yang bekerja di lingkungan Pemkot Surabaya supaya tidak terpancing emosi. Bahkan, ia juga mengajak kepada semua pihak untuk bersama-sama menyikapi isu ini dengan bijak.
Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha sebelumnya mengatakan pihaknya menemukan banyak honorer di sejumlah instansi di Surabaya diperlakukan tidak manusiawi.
"Gaji yang diperoleh honorer ini kecil, jauh jika dibandingkan dengan aparatur sipil negara (ASN). Tapi beban kerja honorer jauh lebih besar dari pada ASN. Ini yang saya temukan di lapangan," katanya.
Menurut dia, perlakuan tidak manusiawi tersebut di antaranya diperlihatkan dengan memberikan pekerjaan tambahan kepada honorer yang semestinya itu dilakukan ASN.
Atas beban kerja tersebut, lanjut dia, tidak jarang di antara para honorer tersebut terpaksa harus merelakan waktu istirahatnya untuk kerja lembur di kantor hingga tengah malam.
"Mereka bahkan diberi pekerjaan rumah, sementara para ASN dengan enaknya tidak diberi tugas itu. Tidak hanya itu, masih banyak perlakuan diskrimintaif terhadap honorer seperti halnya kegiatan out bound di sekolah yang sengsara honorer, tapi yang ASN enak-enakkan," katanya.
Hingga saat ini, lanjut dia, pihaknya sudah mendapat keluhan adanya perlakukan yang tidak manusiawi terhadap tenaga honorer di 10 kecamatan di Kota Surabaya di antaranya di Kecamatan Krembangan, Pakal, Bubutan dan Dukuh pakis.
Kebanyakan honorer itu, lanjut dia, bekerja di instansi kesehatan seperti puskesmas maupun rumah sakit dan instansi pendidikan seperti sekolah-sekolah negeri maupun lembaga pendidikan lainnya. (*)
Pemkot Surabaya Bantah Honorer Diperlakukan Tidak Manusiawi
Minggu, 5 Agustus 2018 19:31 WIB
Sistem penerimaan pendapatan untuk ASN (Aaparatur Sipil Negara) di jajaran Pemkot Surabaya berbasis kinerja, sehingga ASN dituntut untuk bekerja lebih giat jika ingin pendapatannya meningkat. Makanya, hal ini berbanding terbalik jika ASN Surabaya dikatakan bermalas-masalan sedangkan honorer bekerja berat