"Ini adalah hasil rekayasa konstruksi dari beton menjadi plastik sehingga biaya investasinya bisa ditekan, namun produktivitasnya tetap tinggi," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo usai peluncuran teknologi supra intensif skala kecil tersebut.
Peluncuran teknologi ini disaksikan sejumlah anggota Komisi IV DPR RI yang dipimpin Wakil Ketuanya Roem Kono dan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Dr Ir Rina, M.Si ditandai dengan penebaran benih perdana ke dalam kedua kolam.
Menurut Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP, sang penemu teknologi budi daya udang supra intensif Indonesia itu mengakui dengan konstruksi beton, teknologi ini membutuhkan biaya konstruksi yang cukup besar, bisa miliaran rupiah, tergantung besaran tambak yang dibangun.
Karena itu, kata Atjo, pihaknya terus melakukan kajian sehingga akhirnya ditemukan konstruksi sederhana yakni menggunakan terpal plastik yang disanggah oleh kerangka (frame) besi.
Ada dua tambak berkonstruksi plastik berbentuk lingkaran berdiamater sekitar 12 meter dengan tinggi satu meter yang mampu menampung air laut 50-an ton. Biaya konstruksi kedua tambak ini hanya Rp30 juta.
Kedua tambak tersebut dalam satu siklus panen membutuhkan biaya operasional Rp19,5 juta dan mampu menghasilkan 600 kg udang. Bila harga udang rata-rata Rp70.000/kg maka sekali panen, pemilik tambak bisa meraup sekitar Rp22,5 juta. Dalam setahun panen bisa berlangsung tiga kali.
Kalau seorang petambak bisa mengembangkan enam kolam saja, biaya konstruksinya tidak akan mencapai Rp100 juta, tetapi hasil yang diperoleh akan berlipat ganda.
"Nah kalau replikasi teknologi ini bisa dimassalkan di seluruh Indonesia, maka ini akan jadi instrumen yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, pengentasan kemiskinan, dan menjaga stabilitas ketahanan pangan," ujarnya.
Hasanuddin Atjo yakin pihak perbankan akan tertarik membiayai usaha seperti ini dengan mengucurkan skim-skim kredit berbunga rendah karena produktivitas tinggi dan kualitas udangnya juga memenuhi standar internasional sehingga tidak akan mengalami kesulitan pemasaran di dalam dan luar negeri sehingga harga jualnya akan selalu menarik.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi IV DPR RI RRoem Kono mengapresiasi Kepala Dinas KP Sulteng Hasanuddin Atjo yang mengembangkan teknologi budi daya udang supra intensif hingga bisa diterapkan oleh petambak di pedesaan yang memiliki modal terbatas.
"Saya salut bahkan terkejut dengan penemuan ini. Kami siap mendukung pengembangan teknologi ini secara massal untuk kesejahteraan rakyat karena fokus kita adalah rakyat kecil di pedesaan," ujarnya.
Teknologi budi daya udang vaname dengan produktivitas 150 ton per hektare atau tertinggi di dunia itu disebut supra intensif karena penerapan secara intensif lima subsistem budi daya yakni penggunaan benih bermutu, pengendalian kesehatan dan lingkungan, standarisasi sarana dan prasarana yang digunakan, penggunaan teknologi serta manajemen usaha yang baik.
"Kelima subsistem ini diimplementasikan secara intensif dan konsisten," tutur Hasanuddin Atjo.(*)
Video Oleh Rolex Malaha