Blitar (Antara Jatim) - Seorang mantan tenaga kerja Indonesia asal Kabupaten Blitar, Jawa Timur bernama Sulistianingsih, mampu memberdayakan keluarga dengan membuat usaha rumahan olahan keripik dari buah pepaya yang ternyata cukup laku di pasaran.
"Saya membuat usaha ini sudah cukup lama, sekitar 2013. Awalnya, karena di rumah banyak pepaya dan harganya murah, akhirnya berusaha mencari solusi bagaimana nilai dari buah ini bisa naik, dan jatuh pada membuat keripik," katanya di Blitar, Kamis.
Ia mengatakan, membuat keripik pepaya ini juga harus telaten. Awalnya, buah pepaya dipilih yang sudah mengkal, lalu dikupas dengan ukuran tipis-tipis. Setelah itu, dibumbui dengan tepung yang sudah dicampur dengan aneka rempah-rempah.
"Awalnya, saat digoreng banyak mengandung minyak goreng, akhirnya saya mencoba mencari informasi dan terus belajar, dan kini sudah lebih baik. Keripiknya banyak diminati," kata perempuan warga Desa Dayu, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar ini.
Ia menyeubut, setiap kali membuat keripik ini bisa sekitar 1,5 kuintal bisa dibuat. Keripik itu dikemas dengan berbagai macam ukuran dan dikirim ke berbagai pelanggan, baik di Jatim hingga luar daerah. Beberapa deerah di Jatim misalnya Kabupaten Ngawi, Kediri, Tulungagung, dan berbagai daerah lainnya. Sementara yang luar daaerah misalnya Bali hingga Makassar.
Untuk membuat usaha ini, ia dibantu sekitar empat orang yang merupakan tetangganya. Omzet tersebut juga akan naik drastis hingga berkali-kali lipat menjelang perayaan keagamaan, salah satunya Idul Fitri. Dengan peningkatan omzet itu, jumlah tetangga yang dilibatkan juga bisa bertambah.
Mantan TKI ini juga mengaku membuat usaha ini tidak mudah, tapi ia tetap berupaya. Bahkan, saat ini usahanya juga terus dikembangkan, dengan membuat keripik pisang, rempeyek, hingga industri gula merah.
Ketua Perkumpulan TKI Purna dan Keluarga (Perbakina) Kabupaten Blitar, ini juga tidak menyesal memilih untuk tinggal di rumah setelah bekerja lima tahun di Hong Kong. Ia awalnya nekat demi keluarga mencari rezeki menjadi TKI pada 2001.
Ia bekerja selama lima tahun dengan pindah majikan. Awalnya, dua tahun dengan majikan pertama tidak terlalu baik, hingga memutuskan pindah ke majikan lain dan akhirnya ia justru diperlakukan lebih baik. Ia diizinkan mengikuti berbagai macam kegiatan sosial, termasuk diberi hak yang penuh serta gaji yang besar.
Namun, saat itu akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan merintis usaha keluarga. Selain membuat keripik, usaha keluarga ada yang juga pertanian serta peternakan. Saat ini, usaha itu juga berkembang dengan baik.
Ia juga mendorong mantan TKI serta keluarganya yang tergabung dalam Perbakina Kabupaten Blitar, ikut serta memberdayakan ekonomi keluarga dengan membuat aneka ragam usaha, sehingga roda perekonomian mereka terus berputar. Perbakina dibentuk sebagai jembatan dari berbagai masalah dari mantan TKI serta keluarga.
Hal ini dilakukan, salah satunya sebagai jalan keluar. Para TKI saat bekerja di luar negeri mempunyai uang yang banyak dan langsung membelanjakan uangnya, namun hanya sekitar beberapa bulan akhirnya kembali bekerja ke luar negeri karena uangnya habis.
"Jadi, perkumpulan ini awalnya diikuti hanya TKI purna saja, tapi setelah berjalannya waktu yang berperan serta mengelola remitansi itu adalah keluarga. Kami berkumpul dan akhirnya berupaya membuat ketahanan ekonomi memulai usaha," katanya.
Ia menyebut, perkumpulan ini awalnya dibentuk pada 2007 bernama Srikandi, di Dusun Termas, Desa Kebonduren, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Nama tersebut akhirnya diubah pada 2016 menjadi Perbakina Kabupaten Blitar. Saat ini, jumlah anggotanya kurang lebih 270 orang.
Adanya perbakina ini juga disambut baik oleh mantan TKI serta keluarga TKI di berbagai daerah. Beberapa daerah sudah dalam proses membuat perkumpulan ini, yang programnya bergerak di bidang ekonomi serta pemberdayaan keluarga. (*)