Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) wilayah VII Jatim Prof Suko Wiyono usai rapat kerja APTISI di Surabaya, Sabtu mengungkapkan selama ini sekolah kesehatan paling banyak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kriteria dosen.
Menurutnya tenaga kesehatan sangat sulit untuk bisa memenuhi standar pendidikan S2. Sebab, beban kerja sebagai tenaga medis cukup menyita waktunya.
"Selama ini Undang-undang guru dan dosen minimal S2. Kalau sekolah kesehatan itu sulit pemenuhan bahkan nggak mungkin terpenuhi," kata dia.
Untuk itu, Suko meminta adanya penyetaraan kompetensi dosen. Meskipun belum S2 jika kompetensinya layak dan terbilang keahliannya sama dengan S2 bisa dianggap memenuhi rasio dosen.
"Terkait 'home base' juga, misal prodi hukum jika dihitung pengajar S2 tidak dihitung pengajar S1. Padahal juga ngajar S1. Ini tidak realistis, karena bisa berakibat pada kurangnya dosen di salah satu prodi," tuturnya.
Menanggapi hal itu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengungkapkan akan segera menyiapkan peraturan untuk penyetaraan dosen yang dinilai berkompetensi sama dengan S2.
Aturan baru itu akan memberikan pengakuan pengalaman pembelajaran atau recognition of prior learning (RPL) bagi dosen yang masih berpendidikan D4 dan S1. Penyetaraan ini mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
"Pertimbangan penyetaraan ini karena pengalaman dosen. Seperti di bawah kementerian agama, banyak kiai yang pendidikannya pesantren tetapi bisa jadi kemampuannya melebihi doktor atau master dalam mengajar," ujarnya.
Dirinya akan mendorong PTS untuk proaktif memasukkan data dosen yang sudah S2 di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Pangkalan data ini menjadi acuan bagi Kemenristekdikti untuk memanggil dosen yang memenuhi syarat sertifikasi.
"Dengan RPL, para dosen yang potensial bisa disetarakan dengan S2 sehingga bisa memenuhi syarat minimal untuk menjadi dosen dan untuk bisa disertifikasi," kata Nasir.(*)
Video oleh: Willy Irawan