"Keberadaan mereka akan terus kami pantau," kata Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius yang dikonfirmasi usai menghadiri forum silaturahim dan sosialisasi penanggulangan terorisme di salah satu hotel di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Selasa.
Suhardi yang datang didampingi Deputi Pencegahan dan Deputi Krisis BNPT tidak menjelaskan lebih jauh teknis pengawasan dimaksud.
Ia mengatakan BNPT aktif berkoordinasi dengan Kementrian Luar Negeri guna mengawasi pergerakan WNI di negara luar, khususnya kawasan Timur Tengah.
Menurut jenderal polisi berpangkat Komjen ini, jumlah WNI yang bergabung ISIS di Suriah saat ini diperkirakan masih ratusan orang.
Ada 11 WNI anggota ISIS di Suriah yang akhirnya melarikan diri dan kini sudah dipulangkan ke Indonesia.
Namun Suhardi yang bergegas menuju mobil usai mengikuti forum dialog enggan berkomentar soal penanganan WNI simpatisan ISIS yang kabur dan kini telah kembali ke Tanah Air tersebut.
"Itu nanti saja ya, nanti. Sekarang masalah ini dulu (sosialisasi pencegahan terorisme)," katanya merujuk forum silaturahim dengan 300 lebih kalangan ulama, warga nahdliyin dan tokoh masyarakat se-Tulungagung itu.
Dalam ceramahnya selama kurang lebih sejam di depan forum ulama dan umaro se-Tulungagung itu, Suhardi Alius sempat menampilkan beberapa data statistik dan grafik tentang aksi teror serta perkembangan gerakan fundamental atau ekstremisme di Indonesia.
Ia juga mengungkap fakta bahwa mayoritas "jihadis" yang dijadikan "pengantin" dalam setiap serangan bom bunuh diri adalah kalangan remaja, mulai usia sekolah hingga usia skeitar 30-an tahun karena pada rentang itu adalah fase pembentukan identitas serta karakter pribadi individu.
Salah satu cuplikan rekaman pelaku bom bunuh diri Hotel JW Marriot di Jakarta, sepekan sebelum aksi bunuh diri mengatasnamakan agama juga sempat ditunjukkan dimana pelaku yang masih belia menyebut rencana serangan bunuh diri yang dilakukannya bukanlah "bunuh diri" melainkan kewajiban dan perintah Agama.
"Kalau anda lihat cuplikan tadi bisa dilihat betapa pelaku yang sudah tidak ada karena ikut tewas bersama serangan bom bunuh diri pada 2011 itu tidak tampak wajah takut, stres apalagi menyesal. Ini hasil cuci otak oleh kelompok-kelompok ekstremis dengan memanfaatkan kalangan remaja yang dianggap mudah disusupi faham radikal," ucap Suhardi Alius.
Karenanya, ia berpesan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk waspada, mengawasi anak-anak maupun remaja di sekitarnya yang memiliki perubahan sikap atau sifat secara mendadak, seperti tiba-tiba menyendiri dan enggan bergaul dengan sesamanya.
"Ada banyak kasus anak-anak kita yang dulunya pintar-cerdas, dan berpotensi tiba-tiba berubah menjadi radikal. Salah satunya dari Trenggalek, mahasiswa kedokteran di salah satu universitas ternama yang kemudian rela meninggalkan bangku kuliah dan kabur ke Suriah sehingga bergabung ISIS," kata Suhardi. (*)
Video oleh: Destyan H Sujarwoko