Jakarta (Antara) - Konferensi internasional Alzheimer 2017 di London, Inggris, menyatakan bahwa faktor risiko penyakit alzheimer sporadis sebenarnya dapat dicegah.
"Simpulan itu disampaikan dalam sesi pleno oleh Prof Matthew Frosch dari 'Harvard Medical School' AS saat memaparkan 'Genetics of Alzheimer's Disease'," kata ahli penyakit saraf Indonesia dr Andreas Harry SpS (K) saat menghubungi Antara dari London, Kamis pagi.
Andreas Harry adalah peserta konferensi tahunan dari Indonesia yang diselenggarakan The Alzheimer's Association International Conference (AAIC), yang pada 2017 dipusatkan di "Excel London Convention Centre".
Konferensi yang dihadiri ribuan peneliti dunia dari 68 negara itu berlangsung 16-20 Juli 2017.
Dalam paparannya, menurut Andreas, ahli dari AS itu mengungkapkan bahwa sebanyak 90 persen penyakit alzheimer ternyata bersifat sporadis (didapat).
Ia menyebutkan faktor risiko genetik untuk Familial Alzheimer's Disease (FAD) jelas disebabkan mutasi protein gen APP (Chromosom 21), mutasi protein ApoE4
(Chromosom 19), mutasi protein gen Presenilin 1 (PSEN1, Chromosom 14), mutasi protein gen Presenilin 2, Chromosom 1).
Merujuk pada laman kesehatan (webMD) FAD adalah jenis yang sangat jarang dari penyakit Alzheimer, yakni kurang dari 1 persen dari semua kasus penyakit Alzheimer.
Biasanya FAD menyerang pada usia lebih muda, sekitar 40-50an, dan penyakit ini diturunkan melalui gen.
Paparan Matthew Frosch juga menyebutkan dari 5,5 juta penderita penyakit alzheimer di AS ternyata hanya 5-10 persen FAD.
"Sisanya 90 persen adalah penyakit alzheimer sporadis (Sporadic Alzheimer's Disease/SAD) yang didapat dengan faktor risiko lingkungan," katanya.
Faktor tersebut antara lain karena hipertensi, diabetes mellitus, syndroma dimensia, MCI, stroke, dan "fat diet" berlebihan.
Namun, pada SAD tidak ditemukan mutasi APP ataupun Presenilin, tetapi didapatkan mutasi Mitochondria DNA (Mitochondria Cascade).
Karena itu, ditegaskan bahwa dengan melihat adanya faktor risiko SAD, maka sebenarnya SAD dapat dicegah.
Dari semua studi dari berbagai negara menunjukkan SAD terjadi 3-5 persen dari kelompok populasi usia 65 tahun (late onset).
Pada setiap lima tahun prevalensi meningkat dua kali lipat, sehingga pada kelompok usia 85 tahun prevalensi SAD mencapai 30-40 persen.
Pada FAD umumnya tanda klinis muncul pada usia 30-40 tahun (early onset).
FAD diturunkan secara "autosomal dominant".
Menurut Andreas, untuk memperbaiki gejala klinis penyakit Alzheimer, obat Memantine masih menjadi pilihan utama.
Di Indonesia, kata dia, Memantine beredar dengan nama Abixa.
Pilihan lain yang beredar di Indonesia adalah "Citicoline plus Phosfatidilserine" dengan nama Neugain.
Ia menambahkan bahwa topik lain yang dibahas dalam konferensi itu di antaranya neurobiology AD pada Trisomy 21, dan "down syndrome". (*)