"Mugo-mugo ojo nganti uripe kesenian ketoprak Siswo Budoyo iki mung sak dawane umurku" (semoga usia kesenian ketoprak PS Siswo Budoyo ini tidak hanya sejengkal panjang umurku).
Pesan pendiri ketoprak Siswo Budoyo, Siswondo Harjosuwito itu yang menurut Gaot Utomo selalu terngiang di telinga dan fikirannya.
Alasan itu pula yang kemudian mendorong tekad mantan sopir sekaligus kemenakan almarhum Siswondo ini bertekad mendirikan kembali Paguyuban Seni Siswo Budoyo Unit 2, dan kemudian melakukan tur keliling empat kota di Jatim.
Ada rasa senang bercampur penasaran membuncah saat paguyupan seni ini tampil perdana di gedung aula Djoe Tik Kiong, Tulungagung, pertengahan Oktober lalu.
Senang karena teater rakyat asli kelahiran kota marmer yang melegenda pada era 1070 hingga akhir 1980-an itu bangkit kembali setelah hampir dua dasawarsa vakum.
Namun di sisi lain juga penasaran dengan penasaran dengan penampilan para seniman itu membuktikan eksistensi dan kemampuan bertahan mereka dalam berkesenian di tengah era medsos (media sosial); youtube, facebook, instagram dan berbagai kanal jejaring informasi publik lain.
Logikanya sederhana, jika produk seni-budaya modern seperti industri musik dan perfileman nasional saja terpapar luar biasa oleh arus digitalisasi dan konvergensi media hiburan, bagaimana dengan seni pertunjukan tradisional.
Untuk sekadar bertahan dan asal eksis tampil secara periodik sebenarnya bisa saja dilakukan.
Namun jika pertunjukan yang ditampilkan tidak berdampak ekonomi, para seniman ketoprak mau makan apa. Belum lagi kewajiban mereka menghidupi keluarga.
Ya, faktor ekonomi mau tidak mau, diakui atau tidak, menjadi kendala para seniman teater rakyat itu untuk terus bertahan di dunia antarpanggung.
Darah seni tetap akan mengalir dalam tubuh, namun naluri untuk bertahan hidup menjadikan para seniman juga harus bersikap realistis membuat prioritas pilihan.
Seperti halnya semangat pembentukan paguyuban seni-budaya Siswo Budoyo ini di awal kelahirannya pada 20 Juni 1958, sang pendiri Siswondo Harjosuwito memadukan hasrat besar dalam dirinya dalam berkesenian sekaligus melihat peluang bisnis di bidang hiburan/pertunjukan rakyat saat itu.
Naluri Siswondo dkk yang memang telah menggeluti dunia seni tradisi sejak kecil agaknya berhasil.
Dari semula hanya pertunjukan ketoprak kelas kampung di daerah Cuwiri, Kecamatan Kauman (sumber lain menyebut awal pementasan ketoprak Siswo Budoyo di Desa Kiping, Kecamatan Gondang), seni teater rakyat saat itu berkembang seiring kian tingginya animo masyarakat untuk menonton.
Singkat cerita, paguyupan seni ketoprak Siswo Budoyo yang dinahkodai Siswondo terus berkembang hingga mencapai masa kejayaannya di era 1970 hingga 1980-an.
Kendati kala itu industri perfileman dan televisi nasional naik daun, Siswo Budoyo mampu meraup keuntungan tinggi berkat kemampuan adaptasinya dengan mengundang artis-artis nasional sebagai bintang tamu saat pementasan mereka.
Namun jagat hiburan terus berkembang. Pilihan tontonan bagi masyarakat yang kian variatif. Sementara perubahan generasi membuat teater rakyat seperti ketoprak Siswo Budoyo perlahan ditinggal penggemarnya.
Tercatat animo penonton pertunjukan ketoprak PS Siswo Budoyo mulai surut di awal 1990-an mencapai titik kejatuhan sejak Siswondo meninggal dan manajemen diambil alih oleh puteri dari istri pertamanya, Ny Endang Wariyanti pada 1998. Setelah itu, perkembangan PS Siswo Budoyo mengalami pasang surut.
Pimpinan paguyuban seni Siswo Budoyo unit 2, Gatot Utomo mengatakan kelompok seni ketoprak warisan Siswondo itu sempat gonta-ganti manajemen namun akhirnya benar-benar mati suri sejak 2002 akibat tak mampu lagi menghidupi para punggawanya.
Siswo Budoyo bangkrut dan para pemain/pengrawitnya beralih ke profesi lain atau menggeluti dunia seninya sendiri.
Kini, setelah cukup lama mati suri Gatot Utomo yang masih keponakan almarhum Siswondo berupaya menghidupkan lagi dengan membentuk manajemen baru, PS Siswo Budoyo Unit 2.
Beranggotakan sekitar 50 orang (termasuk pemain, pengrawit, perias, hingga bagian perlengkapan), teater rakyat ini mencoba kembali mengadu asa di tengah gelombang modernisasi teknologi informasi dan memasuki era youtube.
Masyarakat semakin gampang memilih hiburan yang diingini, bahkan hanya disegenggaman tangan: gadget/android.
Cukup berat, bahkan mungkin jauh lebih berat dibanding badai pertama yang dialami Siswo Budoyo pada 1990-an dimana masyarakat mulai dimanjakan aneka hiburan televisi dan filem.
Sekarang lawannya tidak hanya pilihan hiburan film-televisi yang semakin variatif, namun juga lebih besar lagi tsunami budaya melalui dunia maya.
Media sosial yang beragam, mulai facebook, instagram, twitter, blog, hingga youtube memungkinkan masyarakat tak harus pergi kemana-mana hanya untuk mencari hiburan.
Dari yang post-modern, natural, klenik, hingga berbau tradisional semua bisa diakses dan diunduh melalui media-media sosial berbasis dalam jaringan (daring) internet tersebut.
Kehausan akan hiburan rakyat yang oroginal seperti pertunjukan teater budaya Siswo Budoyo Unit 2, beberapa waktu lalu tentu tetap akan ada. Terutama di kalangan basis penggemarnya yang sebagian besar berusia tua.
Terbukti dari banyaknya penonton hadir saat itu yang diperkirakan mencapai 500 orang lebih untuk sekali pentas. Namun apakah eforia itu bertahan lama, masih perlu pembuktian.
Dalam penampilan saat pentas di gedung pertemuan Djoe Tik Kiong, Tulungagung itu saja, penonton tidak tidak bertahan hingga usai. Dari durasi pementasan sekitar 2-3 jam, di tengah pertunjukan penonton bahkan tinggal seperempatnya.
Konsep pentas yang masih sederhana, tidak adanya bintang tamu yang terkenal, serta berbagai alasan waktu dan rutinitas esok hari menjadi alasan yang banyak muncul dari penonton.
Jika kondisi itu terus terjadi, semangat kebangkitan PS Siswo Budoyo Unit-2 pun tidak akan lama.
Mereka akhirnya hanya bisa mengandalkan permintaan "manggung" dari dinas/lembaga atau orang kaya yang memang mencintai kesenian ketoprak, namun frekuensinya tidak bisa dijadwalkan secara pasti.
Apresiasi patut diberikan kepada Polda Jatim yang memberi kesempatan PS Siswo Budoyo Unit 2 mentas di beberapa kota dengan misi suci penggalangan kamtibmas wilayah.
Tetapi untuk menghidupkan teater rakyat yang pernah masyur di Jatim dan Jateng selama beberapa dasawarsa ini perlu komitmen semua pihak, terutama intervensi pemerintah daerah. Baik Pemprov Jatim maupun pemda-pemda di bawahnya.
Caranya ya dengan mengakomodasi kesenian tradisional ini agar bisa eksis pentas lintasdaerah secara bergilir, termasuk dalam membawa misi pengembangan bakan seniman lokal dari kalangan muda.
Jika misi tambahan ini berjalan, niscaya problem regenerasi yang dialami PS Siswo Budoyo juga akan teratasi dengan sendirinya, termasuk juga pembentukan paguyupan seni ketoprak gaya baru yang mengikuti tuntutan zaman.
Pertunjukan seni kontemporer yang sempat "booming" di salah satu media televisi nasional namun mengadopsi kemasan seni tradisional ketoprak humor "Opera van Java", mungkin bisa menjadi referensi mereka untuk beradaptasi.
Selain juga pemanfaatan jejaring media sosial untuk kepentingan pemasaran seni budaya ketoprak di dunia maya, revolusi dalam hal kemasan dan tampilan tetap harus dilakukan.
Dan, sentuhan tersebut tidak bisa dilakukan para seniman ketoprak sendirian. Harus ada induk semang yang konsisten dan bersungguh-sungguh membantu menyelamatkan warisan budaya daerah ini agar selamat dari kematian, melewati senjakala kehidupan sebelum benar-benar terbenam. (*)
Senjakala Ketoprak Siswo Budoyo di Era Youtube
Sabtu, 22 Oktober 2016 10:34 WIB
Selain juga pemanfaatan jejaring media sosial untuk kepentingan pemasaran seni budaya ketoprak di dunia maya, revolusi dalam hal kemasan dan tampilan tetap harus dilakukan.